Saturday, May 31, 2014

Imagine Living Life in Peace...

Entah mengapa rasanya akhir-akhir ini agak jenuh dengan berita-berita yang beredar, baik di media cetak, televisi, internet, bahkan media sosial, terutama menjelang pilpres dan setelah muncul dua nama capres. Pendukung setiap capres rajin share kekurangan capres yang lain, bahkan menyangkut-pautkan dengan agama atau keimanan seseorang. Itu berita benar atau tidak, aku juga tidak tahu, yang jelas tulisan itu bersifat opini, bukan fakta. Sadar atau tidak, dulu pernah belajar sejarah atau tidak, Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama saja, satu suku saja, tapi dengan keberagaman yang ada, adanya toleransi, saling menghormati antar agama, antar suku, antar budaya, negara kita, Indonesia dengan semboyannya "Bhinneka Tunggal Ika" mampu merdeka dari penjajahan bangsa asing. Yang membuatku heran dan bertanya-tanya, bukankah keimanan seseorang itu hanya Allah yang layak untuk menilai? Bukankah yang bisa kita nilai adalah bagaimana sikapnya selama ini dan apa yang sudah mereka perbuat?

Indonesia sangat kaya, dalam hal budaya, keindahan alam ciptaan Allah, sumber daya alam yang melimpah ruah, seperti digambarkan oleh Koes Plus dalam lagu berjudul "Kolam Susu". Begitu pula beragam agama yang ada disini. Tapi, itulah kekayaan yang menjadi kelemahan. Kekayaan yang tidak diiringi dengan toleransi, pemikiran yang lebih bijak dan dewasa. Sedikit isu permasalahan antar suku atau antar agama saja, sebagian besar masyarakat mudah terpancing emosi, entah apa yang sebenarnya terjadi, pokoknya beraksi dulu membela masing-masing kelompoknya. Mungkin hal ini yang belum hilang sejak jaman penjajahan dulu. Politik "devide et impera", sudah sangat klasik, tapi masih berhasil diterapkan di Indonesia. Bahkan mungkin tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak di luar yang menunggu detik-detik kehancuran Indonesia, dengan menggunakan politik itu. Pancing saja dengan isu misalnya antara agama Islam sendiri tentang Sunni dan Syiah. Pasti menimbulkan perdebatan yang amat dahsyat disini. Padahal Sunni dan Syiah di negara-negara Timur Tengah dan Eropa malah hidup berdampingan, meskipun masih ada sedikit yang mudah terpancing isu seperti ini.

Masalah-masalah seperti itu, sudah ada dari dulu. Bahkan, musisi terkenal, John Lennon, mengungkapkan keprihatinannya dalam lagu yang berjudul "Imagine"

Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...


Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace...


You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one


Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world...


You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us

And the world will live as one 

Mungkin ada di antara kalian yang berpikir bahwa yang ada di lirik itu cuma pikirannya orang kafir lah, atheis lah, ngapain ditanggepin lah, dll. Tapi coba resapi lagi. Bukankah lirik lagu itu menggambarkan betapa dia mendambakan perdamaian? Sehingga dengan yang dia lihat apa yang terjadi akhirnya dia menyimpulkan, jika saja tidak ada surga, tidak ada neraka, tidak ada batas negara, tidak ada agama, mungkin semua orang bisa hidup di dunia dengan damai. Itu tidak salah, hanya kurang tepat. Bukankah damai itu juga salah satu sifat Allah? Kalau begitu seharusnya siapa yang wajib introspeksi diri dan memperbaiki diri?

Berikut ini, aku cantumkan artikel "Seislami Apakah Kita?" dari kolom Irfan di website islamindonesia.co.id sebagai renungan untuk yang selalu menganggap dirinya Muslim, orang yang paling benar. Padahal, sebagian besar di antara kita menganut Islam karena merupakan "warisan" dari orang tua kita. Belajar agama pun pasti langsung belajar agama Islam, tanpa ingin mengetahui lebih jauh lagi apa yang diajarkan agama lain dan mungkin tidak sempat terlintas di benak kita mengapa kita bisa meyakini apa yang kita anut ini, dan apakah sudah benar atau belum.

Syaikh Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang. Kepada Renan, filsuf Perancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dan lain sebagainya. Dengan ringan Renan, yang juga pengamat dunia Timur Tengah mengatakan (kira-kira begini katanya), “Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran. Tapi tolong tunjukan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam”. Dan Abduh pun terdiam.
Satu abad kemudian beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan. Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti kejujuran (shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan, ketapatan waktu, empati,  toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah Saw. Bebekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai islamicity index mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapara islami negara-negara tersebut. Hasilnya? Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami. Indonesia? Harus puas di urutan ke 140. Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam lainnya yang kebanyakan bertengger di rangking 100-200.
Apa itu Islam? Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami? Kebanyakan ayat dan hadis menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi. Misalnya hadis yang yang menjelaskan bahwa “Seorang Muslim adalah orang yang di sekitarnya selamat dari tangan dan lisannya” itu indikator. Atau hadis yang berbunyi, “Keutamaan Islam seseorang adalah yang meninggalkan yang tak bermanfaat”. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga ... Hormati tamu ...  Bicara yang baik atau diam”. Jika kita koleksi sejumlah hadis yang menjelaskan tentang islam dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara.
Dengan indikator-indikator di atas tak heran ketika Muhamamd Abduh melawat ke Perancis akhirnya dia berkomentar, “Saya tidak melihat Muslim di sini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islam, sebaliknya di Mesir saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam”.
Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad ketika berkesempatan ke Kanada yang merupakan negara paling islami no 5. Beliau heran melihat penduduk di sana yang tak pernah mengunci pintu rumahnya. Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya, “mengapa harus dikunci?” Di kesempatan lain, masih di Kanada, seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah. Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di negeri muslim yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat. Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan aman. Artinya, jika semua penduduk beriman, seharusnya bisa memberi rasa aman. Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal (mungkin) tanpa iman. Tetapi kita merasa tidak aman di tengah orang-orang yang (mengaku) beriman.
Seorang teman bercerita, di Jerman, seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyebrang saat lampu penyebrangan masih merah. “Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan, hari ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan, dan saya khawatir dia akan meniru Anda”. Sangat kontras dengan sebuah video di Youtube yang menayangkan seorang bapak-bapak di Jakarta dengan pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm. Ketika ditangkap polisi karena melanggar, si Bapak tersebut malah marah dengan menyebut-nyebut bahwa dirinya habib.
Mengapa kontradiksi ini terjadi? Syaikh Basuni ulama Kalimantan pernah berkirim surat kepada Muhamamd Rashid Ridha ulama terkemuka dari Mesir. Suratnya berisi pertanyaan: “Limadza taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum?”, mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju? Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti dari jawaban Rasyid Ridha, Islam mundur karena meninggalkan ajarannya, sementara Barat maju karena meninggalkan ajarannya.
Umat Islam terbelakang karena meninggalkan ajaran iqra (membaca) dan cinta ilmu. Tidak aneh dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini menempati urutan ke- 111 dalam hal tradisi membaca. Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-begara Muslim terpuruk di kategori low trust society yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias selalu penuh curiga. Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.
Siapa yang salah? Mungkin yang salah yang membuat survey. Seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya pastilah Indonesia ada di ranking pertama.

Perdamaian itu.... sangat indah :)

No comments:

Post a Comment