Sunday, March 13, 2016

My First Experience of Grief

Goodbyes are only for those who love with their eyes. Because for those who love with heart and soul there is no such thing as separation. 
-Rumi-

Finally, you came to my dream, Grandma (Eyang Uti)...
Detik-detik terakhir sebelum aku bangun pagi ini, aku bermimpi Eyang Uti datang ke rumahku ditemani oleh Budhe Iin, seperti biasanya saat Eyang Uti masih hidup. Aku agak terkejut karena dalam mimpi itu aku dalam kondisi mengetahui bahwa Eyang Uti sudah meninggal. Aku kira yang datang berkunjung ke rumah adalah Eyang Kakung. Saat aku keluar dari kamar untuk menyambut mereka, aku melihat wajah Eyang Uti yang berseri, bahagia dan tersenyum kepadaku, yang sampai sekarang ekspresi wajah itu tergambar jelas di pikiranku. Aku sempat terkejut tapi kemudian aku segera memberi salam dan mencium tangannya. Beliau hanya tersenyum dan sempat memegang kalung emas pemberiannya saat aku masih SD dan (sedihnya) baru aku pakai setelah kepergiannya karena sebenarnya aku tidak terbiasa memakai perhiasan. Hanya beberapa detik pertemuan kami lalu aku terbangun. Awalnya seperti bangun tidur seperti biasa, sampai aku teringat lagi tentang mimpiku itu saat akan sholat Subuh. Entah mengapa air mataku menetes dan sulit aku hentikan. Sama seperti saat meninggalnya, air mataku tidak berhenti menetes. Bahkan saat menulis postingan ini pun, air mataku masih menetes. Saat ditanya ibuku mengapa aku menangis, aku tidak bisa menjawabnya karena aku takut air mataku akan menetes lebih deras lagi. Aku tidak tahu apakah Eyang Uti yang ada di mimpiku itu memang benar beliau ataukah hanya bunga tidur semata. Apapun itu aku bahagia jika keadaan Eyang Uti di alam barzakh memang seperti yang aku lihat dari ekspresi wajahnya dalam mimpiku. Dan aku akan berusaha untuk terus mendoakan Eyang Uti seperti yang Eyang Uti lakukan pada anak-anak dan cucu-cucunya selama beliau masih hidup. Terima kasih telah hadir di mimpiku setelah lebih dari empat puluh hari Eyang Uti meninggal.

26 Januari 2016
Hari itu hari Selasa, yang tidak akan pernah aku lupakan. Pagi itu, bapakku baru saja pulang dari RS Mitra Keluarga di daerah Surabaya Barat tempat Eyang Uti dirawat, setelah sebelumnya dirawat di RS di Jember. Bapak berencana menjenguk Eyang Uti lagi dan mengajak Ibu juga. Saat itu aku stase Obsgyn di RSUD Soewandhie. Aku berangkat stase seperti biasa, tetapi entah mengapa aku lupa membawa HP yang sedang di-charge. Menjelang tengah hari, Mas Inung, saudara sepupuku, mencariku lewat grup line angkatan. Rasa tidak enak segera menghinggapiku dan segera aku hubungi Mas Inung dengan HP temanku. Dan memang benar, dia memberitahuku tentang kondisi Eyang Uti di ICU yang sudah MBO (Mati Batang Otak) dan hanya bergantung pada ventilator. Air mataku tidak terbendung lagi dan Ibu mengatakan sebaiknya aku cepat pulang dan bisa segera ke RS tersebut. Setibanya aku di sana, hanya ada Ibu, Bapak serta adik ipar Eyang Uti. Keluargaku yang lain pulang sebentar untuk beristirahat, terutama Pakpuh Dwi dan Budhe Iin yang memang belum pulang sejak dari Jember hari Minggu yang lalu. Bapak pun berencana pulang sebentar untuk mandi dan sholat. Sehingga yang tetap disana hanya aku, Ibu, Budhe Wiwik dan adik ipar Eyang Uti. Saat itu belum jam besuk sehingga aku hanya diizinkan melihat Eyang Uti dari luar kaca. Sebenarnya aku mulai terbiasa melihat pemandangan pasien di perawatan intensif yang diintubasi dan terhubung dengan ventilator, diberi vascon untuk mempertahankan tensinya, tetapi ini pertama kalinya aku berada di posisi keluarga pasien dan itu membuatku teramat sedih. Lalu aku keluar dan sudah ada beberapa penjenguk, rata-rata adalah kenalan Pakpuh Dwi dan ada juga beberapa PPDS yang merupakan anak didik Pakpuh Dwi.
Mendekati akhir jam jenguk, aku masuk lagi ke ruangan dan kali ini aku ingin mendekat dan memegang tangan Eyang Uti. Tidak lama setelah aku masuk, dokter dan perawat masuk dan terlihat mengatur ulang setting ventilator. Saat itu aku melihat monitor vital sign, tensi Eyang Uti semakin rendah, nadinya semakin melambat. Dokter pun mengatakan biarkan semua berjalan senatural mungkin. Dan aku pun sangat paham maksudnya. Ibu memintaku untuk membacakan surat Yasin. Aku sudah beberapa kali berada pada kondisi seperti itu sebagai tenaga medis, tetapi itu adalah pertama kalinya aku berada pada kondisi tersebut sebagai keluarga pasien, yang diminta persetujuan untuk melepas ventilator. Aku paham, sangat paham dan aku hanya bisa menganggukkan kepala, mengucapkan terima kasih dan meneruskan membaca surat Yasin sambil menangis sesenggukan. Aku tidak percaya beliau meninggalkan kami secepat ini, di tahun ini, dimana ada cucunya yang akan menikah bulan ini, ada pula dua cucunya yang lain Insya Allah akan dilantik menjadi dokter tahun ini. 

Aku baru merasakan perpisahan salah satu keluarga dekat yang nyata untuk pertama kalinya selama 23 tahun aku hidup di dunia ini. Rasa sedih teramat dalam yang pertama kali aku rasakan. Lalu aku berpikir, aku hanya seorang cucu yang baru sebentar mengenalnya selama 23 tahun (mungkin kurang dari itu karena saat bayi masih belum bisa mengenal orang secara khusus), merasa amat sedih, bagaimana dengan Bapakku, Pakdhe dan Budhe, apalagi Eyang Kakung, yang sudah hidup bersama puluhan tahun. Sungguh aku tidak sanggup membayangkannya, bahkan untuk berada di dekat Eyang Kakung kadang aku tidak berani lama-lama terutama saat beliau bercerita tentang Eyang Uti semasa hidupnya dan beliau meneteskan air mata, secepatnya aku beranjak dan segera mengusap air mata yang menggenang di mataku sebelum menetes.

3 Maret 2016
Tidak terasa sudah 40 hari Eyang Uti wafat. Bapak mengadakan pengajian di rumah untuk mengirimkan doa pada Eyang Uti. Setelah doa, ada ceramah Ustadz yang memimpin doa tadi dan beberapa hal yang aku ingat, bahwa kematian bukanlah akhir segalanya, hanyalah perpindahan dari alam materi ke alam ruh (barzakh); kematian, sama seperti kehidupan, merupakan ujian dari Allah; kematian adalah pelajaran yang teramat nyata dan pengingat manusia yang masih hidup. Ada 2 hal yang dapat mencegah manusia dari perbuatan maksiat, yaitu adanya Allah yang selalu mengawasi kita, bahkan di tempat tersembunyi sekalipun dan kematian yang terjadi di sekitarnya. Hal pertama mungkin terkadang agak susah karena manusia fitrahnya meyakini apa yang bisa ditangkap oleh panca indranya, sedangkan keberadaan Allah tidak bisa ditangkap oleh panca indra kita, melainkan kita meyakininya, tetapi hal kedua, yaitu kematian sering kita jumpai setiap harinya dan pasti kita akan merasakannya, hanya saja kita tidak tahu kapankah waktu itu akan tiba. Ada juga sebuah hadist yang sangat populer; Jika anak Adam meninggal, maka terputus amalnya kecuali 3 perkara, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang berdoa baginya. Untuk perkara yang terakhir disebutkan, anak soleh yang berdoa baginya, bukan berarti bila ada orang lain yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan orang tersebut, mendoakannya, doa tersebut tidak akan sampai. Doa siapapun pasti akan sampai dan akan sangat membantunya di alam Barzakh, selain amal yang dilakukan semasa hidupnya.


Banyak sekali kenangan dari Eyang Uti untukku. Mulai dari perhiasan, yang Eyang Uti tekankan agar jangan sekali-kali dijual, sampai pemberian terakhir Eyang Uti sebulan sebelum beliau meninggal, Terima kasih atas segala perhatian dan doa Eyang Uti bagi kami. Terima kasih wanita paling tangguh yang aku kenal, wanita yang murah hati. Semoga amal dan perbuatan baik Eyang Uti diterima oleh Allah, diampuni segala dosanya. Semoga keadaan Eyang Uti di alam barzakh baik dan diliputi limpahan rahmat dan kasih sayang Allah. Semoga kami yang masih hidup dapat mengambil pelajaran dan memanfaatkan waktu yang tersisa untuk beribadah dan bermanfaat bagi orang lain.