Sunday, April 05, 2015

Journey to the Inner Self

Alhamdulillah, weekend kali ini lebih panjang dari biasanya, long weekend karena ada hari besar umat Kristiani. Sebenarnya, merupakan waktu yang bisa saja dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berlibur, melepas penat dari rutinitas, mengunjungi tempat yang belum pernah kita kunjungi ataupun berlibur bersama keluarga. It sounds great, isn't it? Apalagi, sebelum memulai stase besar seperti bedah. Sayangnya, meskipun belum ada jaga, aku tidak melakukan semua itu. Liburan kali ini hanya di rumah. Ya, di rumah saja. Awalnya rasanya kaki ini gatal ingin keluar rumah, jalan-jalan, pergi ke tempat yang ingin aku kunjungi. Yaah, tapi entah mengapa tidak aku lakukan. Padahal seminggu sebelumnya, suasana hatiku benar-benar, hmm.. bagaimana mengatakannya ya, intinya bukan suasana hati bahagia yang pastinya ingin dirasakan semua orang. Seharusnya butuh suatu mood booster atau melakukan kegiatan apapun yang bisa memperbaiki mood. Tapi sebelum aku merealisasikannya, aku hanya menyadari, bahwa kegiatan yang kelihatannya menyenangkan seperti travelling, shopping, atau sekedar makan-makan hanya berhasil mengurangi sedikit kesedihan yang aku rasakan. Setelah itu, kesedihan itu hadir lagi dalam kesendirian, sehingga rasanya sayang uang yang aku habiskan begitu saja pun tidak berhasil membuatku bahagia. Andaikan uang itu tadi aku sedekahkan pada yang membutuhkan, pasti akan lebih bermanfaat untuk orang lain. Secara akal sehat, tentu aku sangat ingin tidak merasakan kesedihan itu, mengusirnya dan melakukan hal-hal produktif yang aku bisa, tapi kesedihan itu terus membayangiku dan hadir dalam setiap pikiranku sehingga agak menghambat produktivitasku. Mungkin ini suatu kondisi yang dinamakan "hampa".
Setelah hampir merasakan keputusasaan menghadapi kesedihan yang aku tuangkan dalam setiap doa, tiba-tiba aku teringat buku yang berjudul "Tuhan dalam Otak Manusia" ditulis oleh Taufiq Pasiak, yang aku pinjam dari Wigit sejak stase Psikiatri (dan sampai saat ini belum aku kembalikan). Selama membaca buku itu, yang bisa dibilang termasuk melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri untuk mengenal Tuhan, perasaanku lebih tenang dan merasa menemukan kembali semangat dan makna hidup yang hampir hilang. Dan setidaknya aku mengetahui bagian otak manakah yang berperan dalam spiritualitas seseorang ataupun yang membuatku merasa sedih akhir-akhir ini, selain pengetahuan secara umum yang sudah aku dapat ketika aku melalui stase neurologi dan psikiatri. Hanya bisa bersyukur sebanyak-banyaknya karena otakku masih berfungsi dengan baik dan semoga terus begitu sampai akhir hayat nanti. Amin..
Saat membaca kutipan ini di salah satu bab di buku tersebut:

"Setelah era astronomi. di mana manusia mencari dirinya di antara alam semesta,
Kini, manusia memasuki brainomid; ia mencari dirinya di antara dirinya sendiri dan di antara manusia-manusia" -Taufiq Pasiak, 2002

Aku teringat kutipan tersebut hampir mirip kutipan dari Imam Ali yang sering aku baca beberapa kali, dan versi lengkapnya aku ambil dari suficomics:


Your sickness is within you, though you do not realize,
And your cure is within, yet you do not see.
You claim that you are nothing but a tiny entity,
Yet wrapped up inside of you is the greatest universe.

You are the clear book, through whose letters,
All that is secret is revealed and made known.
So you have no need for anything outside you.
Your consciousness is within you, though yo do not know
-Imam Ali-

Perjalanan ke dalam diri yang cukup menyenangkan. Mendalami sesuatu yang masih misteri dan saat ini masih ada gap pada sirkuit spiritualitas, tapi nyata adanya. Betapa canggihnya otak yang Allah ciptakan untuk makhluk yang paling sempurna. Setelah selesai membacanya, aku berusaha berpikir dan mengingat-ingat apa saja yang bisa memperbaiki sikapku dalam menghadapi hal yang sedang aku risaukan, alasan dan tujuan sikap yang aku ambil, serta berusaha mencapai kedamaian dalam diri. This too shall pass, kalimat ini yang sering aku ingat untuk menyadarkanku apapun yang terjadi, baik kesenangan maupun kesedihan akan berlalu, sehingga bisa membatasi sikapku, bila senang agar tidak terlena, dan bila sedih agar tidak terpuruk. Yang paling jauh dari manusia adalah masa lalu. Masa lalu tidak akan terulang, kesalahan di masa lalu pun tidak bisa kita ubah atau cegah, yang bisa kita lakukan adalah menjadikannya pelajaran agar tidak kita ulangi di masa depan. Dan yang paling dekat dengan manusia adalah kematian. Kematian adalah hal yang pasti terjadi pada setiap yang bernyawa. Karena tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput kita, yang bisa kita lakukan adalah melakukan apa yang harus kita lakukan, berusaha untuk istiqomah di jalan-Nya, selalu introspeksi diri kapan pun dan mengingat-Nya setiap saat. Masa sekarang (present) yang sedang kita jalani, yang menentukan masa depan kita, juga harus kita syukuri dan nikmati, because today is a gift, that's why it's called 'present'.

Semoga hati kita selalu diliputi kedamaian dan kebahagiaan, apapun yang terjadi. Amin..