Sunday, September 13, 2015

Yes, We Are The Bandar's!!!

Akhirnyaaa... tiga minggu yang awalnya terasa berjalan amat lambat ternyata selesai juga. Dengan selesainya stase Community Medicine, yang sebelumnya didahului oleh stase IKM (Ilmu Kesehatan Masyarakat), artinya kami harus kembali ke kehidupan nyata kami, yaitu di tempat menuntut ilmu favorit kami, RSUD Dr. Soetomo. Kami akan kembali jaga, menangani pasien dan ujian, begitu seterusnya sampai stase terakhir kami. Tapiii, sebelum itu terjadi beberapa jam lagi, izinkan aku menuangkan kenangan, memori, pelajaran yang layak untuk dikenang, sebelum memori ini memudar. Suatu pelajaran berharga tentang kehidupan yang mungkin akan jarang aku temui lagi.


Sooo, let me introduce these amazing people who turn into family  :)
Laki-laki (dari kiri ke kanan): Edrick, Nico, Ayub (Oi), Kun dan Laskar
Perempuan (dari kiri ke kanan): Mbak Ika, Nanda, Grace, aku (Fariztah), Yumnah (Jumi) dan Vembi (Bembi).

Kelompok kami yang berjumlah 11 orang ini, pada awalnya belum kenal baik satu sama lain, kecuali yang memang satu kelompok DM. Dengan latar belakang yang berbeda, sifat dan karakter yang berbeda, pada akhirnya kami merasa sangat bersyukur berada di kelompok ini. Cukup banyak cerita lucu, unik, menyenangkan, menyedihkan, menjengkelkan sampai hampir merasa putus asa selama tiga minggu kami hidup disini, di Kecamatan Bandarkedungmulyo, Kabupaten Jombang. Kecamatan Bandarkedungmulyo merupakan kecamatan paling barat, perbatasan Jombang dengan Nganjuk dan Kediri. Karena di daerah perbatasan, bagi kami peradaban terdekat adalah di Kertosono, Nganjuk. Hanya membutuhkan sekitar 10 menit dari rumah dinas kami. 

Letak Puskesmas kami, yang cukup dekat dengan Sungai Brantas

Sebelum kami berangkat, pasti ada beberapa hal yang terlintas di otak kami, yang kami harapkan akan kami dapatkan disana, antara lain:
  1. Bisa menerapkan prinsip work hard, play harder yang artinya tugas selesai, kami juga bisa jalan-jalan, menjelajahi kota Jombang dan sekitarnya
  2. Mendapat Kepala Puskesmas yang asyik, woles, menerima kedatangan kami dengan hangat dan terbuka dengan kami
  3. Mendapat rumah kontrakan yang cukup nyaman, laki-laki dan perempuan bisa satu rumah untuk memudahkan kami bekerja dan ada tempat untuk memasak, apalagi ada yang pintar memasak di kelompok kami. Meskipun kami tahu kalau kami ditempatkan di rumah dinas dekat puskesmas dan di tepi jalan raya provinsi, kami harap kami masih bisa melobi Kapus kami agar kami diizinkan mencari rumah kontrakan yang lebih nyaman
  4. Tugas kami selesai dan bisa menghasilkan program-program yang diterima dan bermanfaat bagi masyarakat

Dan dari harapan-harapan yang terlintas di otak kami, kenyataan yang kami dapatkan adalah:
  1. Rumah dinas yang ditempati oleh laki-laki, ternyata tidak sepenuhnya bersih dan nyaman. Bahkan semua kecoa dan semut keluar dari sarangnya. Mungkin karena terganggu dengan kedatangan kami. Dan lucunya, ternyata ada dari kami yang belum tahu kalau kecoa bisa terbang, dan mengatakan bahwa itu adalah kecoa mutan. Dan karena berada di tepi jalan raya provinsi, yang dilewati truk, bus dan apapun itu, masalah yang kami hadapi adalah: debu, bisingnya klakson bus dan truk, belum lagi kalau mereka ugal-ugalan, kami hanya bisa berdoa semoga kami tetap diberi keselamatan dan perlindungan dari-Nya sehingga tidak ada bus, truk dan lain-lain yang nyasar ke rumah dinas kami, dan juga getaran-getaran akibat bus dan truk yang lewat (laki-laki yang punya banyak pengalaman tentang ini)
  2. Kos yang ditempati oleh perempuan, tidak jauh dari puskesmas, sekitar 100 meter. Sebenarnya cukup nyaman bila dibandingkan rumah dinas. Tapi ternyata kamar mandinya hanya satu, itu pun digunakan bersama orang lain yang kos disitu bahkan termasuk bapak kos, ibu kos, anak kos. Untuk mencuci, awalnya aku berencana bakal mencuci di dalam kamar mandi tiap mandi pagi. Tapi dengan kenyataan seperti itu, aku mengubah rencana dengan mencuci di depan kamar mandi dan menggunakan pompa tangan (pompa air sederhana jaman dulu). Sayangnya aku belum sempat mendokumentasikan pompanya
  3. Ternyata kapus kami sangat jauh dari apa yang kami ekspektasikan, tidak hanya itu, jujur saja kami sama sekali belum pernah bertemu, berinteraksi dengan orang yang mempunyai karakter seperti itu. Dan itulah yang membuat kami awalnya tidak terlalu bersemangat menjalani CM ini. Bayangkan saja, bagaimana nasib nilai kami di tangannya
  4. Tapi alhamdulillah, meskipun kami tidak diterima dengan baik oleh kapus kami, kami sangat bersyukur ternyata ada yang menyambut dengan senang kedatangan kami, yaitu Bu Yayuk dan drg. Ning. Kalau saja tidak ada beliau-beliau ini, kami mungkin tidak sanggup bertahan hidup disini
  5. Kondisi kritis yang menentukan kehidupan kami selanjutnya adalah ketika lokakarya. Meskipun yang datang mungkin tidak sesuai harapan kami, tapi ternyata kualitas mereka jauh melebihi ekspektasi kami, dan itu yang kami syukuri dan karena mereka, kami sangat bersemangat menjalani hari-hari berikutnya untuk menjalankan terapi komunitas.
  6. Ternyata masalah masih suka mendekati kami. Kami mengalami beberapa hambatan dalam merealisasikan terapi komunitas yang kami rancang dan datangnya sekali lagi, dari kapus kami. Beliau tidak menunjukkan dukungan maupun apresiasi terhadap apa yang kami coba lakukan untuk wilayah kerja puskesmasnya. Merasa jengkel, sebal, bingung, hampir putus asa? Ya, pasti.. Tapi kami bertekad untuk tetap merealisasikannya dalam keterbatasan kami. Kembali lagi ke niat kami, kami hanya ingin kebaikan yang diperoleh dari program tersebut untuk masyarakat. Mungkin promosi ataupun publikasi program kami tidak segencar kelompok lain, tapi kami bangga kami tetap bisa produktif di tengah keterbatasan kami, dimana kami tidak mendapatkan dukungan dari orang yang mempunyai kuasa tentang itu.
  7. Kami menyadari bahwa kelompok kami hebat, masing-masing dari kami mempunyai kelebihan dan peran masing-masing yang membuat program kami berhasil, membuat kami terus maju, menghadapi masalah yang ada bersama-sama, mencurahkan pendapat dan mengambil keputusan terbaik untuk kelompok. Dan sekarang, kelompok ini telah berubah menjadi keluarga :)  

Cukup 7 poin aja yaa kenyataan yang kami dapatkan. Sebenarnya lebih banyak dari itu. Bahkan kalau ditulis pun tidak akan bisa menggambarkan apa saja yang telah kami dapatkan. Dari ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan itu, kami berkesempatan untuk belajar. Belajar hal-hal berharga yang mungkin tidak akan kami dapatkan di tempat lain, kalau tidak disini. 

Inilah maksud dari community medicine:
Go to the people
Live among them
Learn from them
Love them
Start with what they know
Build on with what they have

Mungkin awalnya aku hanya sekedar mengerti ketika membaca kata-kata ini, tapi setelah aku mengalaminya, aku menjadi semakin mengerti apa maksud dari ini.

Dan, tibalah di bagian akhir dari post ini. Dari hal-hal yang kami temui, dapatkan, rasakan, dari suka maupun duka, dari awal bekerja sama hingga setelah CM ini, yang pertama kami rasakan adalah kami sangat bersyukur. Kami bersyukur kami bisa belajar banyak, belajar tentang dinamika kehidupan, belajar menjadi orang yang lebih baik lagi. Mungkin ini yang bisa aku ambil selama 3 minggu hidup bersama mereka, orang yang paling tangguh:
  1. Mungkin bertemu orang dengan karakter yang luar biasa unik itu bukanlah harapan masing-masing dari kami, tapi pasti suatu saat selama kami hidup kami akan bertemu dengan orang seperti itu, hanya saja kami dipertemukan dengan orang itu saat 3 minggu kami di sana, dan beruntungnya kami, kami bisa menghadapinya bersama-sama. Dari beliau, kami belajar untuk tidak asal menilai / men-judge orang yang baru kita temui, menghargai orang lain sebagaimana kami juga ingin dihargai, menyambut tamu yang datang dengan ramah dan hangat, mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain. Kami tidak menilai beliau memiliki karakter yang buruk, tapi kami hanya berpikir positif, mungkin ada sesuatu yang terjadi sebelumnya ataukah ada pengalaman buruk yang membuatnya menjadi seperti itu. Semoga beliau dibukakan pintu hatinya dan bisa memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi
  2. Baik rumah dinas maupun kos yang kami dapatkan juga bukanlah seperti apa yang kami harapkan, apalagi setelah melihat rumah kontrakan kelompok lain. Tapi seperti kata Kun, "Jangan bandingkan kita dengan kelompok lain, rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput sendiri." Syukurlah airnya jernih meskipun agak beraroma "karat", mungkin karena pipanya yang berkarat. Dengan mendapatkan kesempatan tinggal di sini, membuat kami lebih mudah bersyukur. Ternyata rumah kami sangat nyaman, tidak bising dan tidak berdebu. Kalau mandi tidak perlu antri, kalau mencuci tidak perlu menggunakan pompa, yang sudah amat jarang ditemui di Surabaya. Semua itu meninggalkan kesan tersendiri di hati kami.
  3. Mungkin ada yang tidak menghargai keberadaan kami disana, tidak menghargai program terapi komunitas yang kami ajukan, tetapi kami merasa amat sangat bersyukur sekali dan bahagia luar biasa ketika mengetahui masih ada lo, masih ada orang yang sangat menghargai kami, berterima kasih karena keberadaan kami, yaitu kader-kader Desa Pucangsimo, Bu Yayuk dan drg, Ning serta dari orang yang tidak kami sangka yaitu perwakilan Dinkeskab Jombang, Bu Titik Ulfah dari Kesehatan Keluarga (KESGA). Dan juga, kami mendapat dukungan dari pembimbing kami dan dosen-dosen yang melakukan supervisi ke rumah dinas kami.







Terima kasih banyak teman-teman seperjuangan, The Bandar's/Rangers of Bandar, keluarga baruku. Akhirnya kita berhasil melalui semuanya yang alhamdulillah berakhir dengan indah dan manis. Semangat berjuang di stase masing-masing, semoga sukses. Sampai ketemu di stase terakhir kita, stase obstetri-ginekologi :)

Friday, August 14, 2015

We Are Gonna Miss This Moment, Someday...

Kalau agak senggang setelah ujian seperti ini, pikiran langsung melayang kemana-mana. Terbayang pertama kali masuk ke dalam hutan rimba ini, bertemu dengan kawan- kawan yang hebat dengan bakat spesial masing-masing. Dan dari sekian banyak teman, ada beberapa yang menjadi teman dekat untuk berbagi. Mulai dari berbagi kebahagiaan seperti saling menraktir saat ulang tahun, sampai kesedihan seperti keadaan setelah ujian atau saat galau (galau karena apapun). Sebenarnya aku agak heran mengapa bisa dekat dengan mereka (Ainun, Lilik, Vembi, Yenni). Mereka saling dekat karena mereka satu kelompok ospek, sedangkan aku di kelompok yang berbeda. Mungkin saja karena aku sekelas dengan Ainun saat SMA. Dan tiba-tiba saja aku sangat merindukan mereka saat ini. Meskipun kami masih menjalani pendidikan profesi dokter muda, kami jarang bertemu karena beda stase, kecuali aku dan Vembi yang masih satu stase di stase besar atau Ainun dan Lilik yang juga masih satu stase bila stase besar.







Mungkin kami bisa menjadi dekat karena kami punya kesamaan, sama-sama nggak bisa serius, apa aja dibawa bercanda trus ketawa bareng sampai perut terasa sakit. Meskipun kami sedang menempuh pendidikan dokter, kami jauh dari kesan serius kalau lagi ngumpul. Mungkin karena kami pikir, sekolah disini sudah cukup membuat stres jadi sebisa mungkin tertawa selagi bisa. Kami juga sama-sama suka jalan-jalan, meskipun nggak bisa jauh-jauh karena terkendala izin orang tua. Kami juga suka main Columbus yang ada di TP (entah sudah berapa kali). Selain kesamaan, kami pun punya banyak perbedaan. Setiap orang memiliki keistimewaan dan karakter yang berbeda. Ada Ainun dan Lilik yang woles dan cuek, tapi Ainun yang paling bingung kalau ada konflik di antara kami. Ada juga Yenni yang lucu, rame dan sekarang jadi anak gaul banget. Ada Vembi yang masih alay, masih suka galau padahal udah dilamar. Dan aku yang..... (aku tidak bisa menilai diriku sendiri, haha..)
Menjadi dekat bukan berarti tanpa konflik. Semakin dekat justru semakin mudah konflik terjadi. Tetapi bersamaan dengan itulah kami belajar dewasa, kami belajar menjadi bijaksana. Kami belajar menerima sifat dan kekurangan masing-masing. Kami belajar saling menghargai dan mengendalikan ego. Kami belajar untuk saling mendukung dan menghibur sebisa mungkin bila salah satu dari kami sedang ada masalah, meskipun saling mem-bully pun tidak terelakkan juga masih terjadi.
Alhamdulillah kami semua diberi kemudahan dan kelancaran sehingga bisa bersama-sama berada pada tahap ini. Tanpa terasa 3,5 tahun preklinik kami lalui dan 1,5 tahun lebih dokter muda (saat ini sudah hampir separuh dari DM tahun kedua), yang artinya tidak lama lagi kami akan kembali pada kehidupan masing-masing, saatnya mewujudkan cita-cita dan mungkin kami akan lebih jarang bertemu. Sehingga di waktu yang tersisa ini aku hanya ingin memanfaatkan sebaik mungkin dan mensyukurinya, because we are gonna miss this moment, someday...






Sunday, April 05, 2015

Journey to the Inner Self

Alhamdulillah, weekend kali ini lebih panjang dari biasanya, long weekend karena ada hari besar umat Kristiani. Sebenarnya, merupakan waktu yang bisa saja dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berlibur, melepas penat dari rutinitas, mengunjungi tempat yang belum pernah kita kunjungi ataupun berlibur bersama keluarga. It sounds great, isn't it? Apalagi, sebelum memulai stase besar seperti bedah. Sayangnya, meskipun belum ada jaga, aku tidak melakukan semua itu. Liburan kali ini hanya di rumah. Ya, di rumah saja. Awalnya rasanya kaki ini gatal ingin keluar rumah, jalan-jalan, pergi ke tempat yang ingin aku kunjungi. Yaah, tapi entah mengapa tidak aku lakukan. Padahal seminggu sebelumnya, suasana hatiku benar-benar, hmm.. bagaimana mengatakannya ya, intinya bukan suasana hati bahagia yang pastinya ingin dirasakan semua orang. Seharusnya butuh suatu mood booster atau melakukan kegiatan apapun yang bisa memperbaiki mood. Tapi sebelum aku merealisasikannya, aku hanya menyadari, bahwa kegiatan yang kelihatannya menyenangkan seperti travelling, shopping, atau sekedar makan-makan hanya berhasil mengurangi sedikit kesedihan yang aku rasakan. Setelah itu, kesedihan itu hadir lagi dalam kesendirian, sehingga rasanya sayang uang yang aku habiskan begitu saja pun tidak berhasil membuatku bahagia. Andaikan uang itu tadi aku sedekahkan pada yang membutuhkan, pasti akan lebih bermanfaat untuk orang lain. Secara akal sehat, tentu aku sangat ingin tidak merasakan kesedihan itu, mengusirnya dan melakukan hal-hal produktif yang aku bisa, tapi kesedihan itu terus membayangiku dan hadir dalam setiap pikiranku sehingga agak menghambat produktivitasku. Mungkin ini suatu kondisi yang dinamakan "hampa".
Setelah hampir merasakan keputusasaan menghadapi kesedihan yang aku tuangkan dalam setiap doa, tiba-tiba aku teringat buku yang berjudul "Tuhan dalam Otak Manusia" ditulis oleh Taufiq Pasiak, yang aku pinjam dari Wigit sejak stase Psikiatri (dan sampai saat ini belum aku kembalikan). Selama membaca buku itu, yang bisa dibilang termasuk melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri untuk mengenal Tuhan, perasaanku lebih tenang dan merasa menemukan kembali semangat dan makna hidup yang hampir hilang. Dan setidaknya aku mengetahui bagian otak manakah yang berperan dalam spiritualitas seseorang ataupun yang membuatku merasa sedih akhir-akhir ini, selain pengetahuan secara umum yang sudah aku dapat ketika aku melalui stase neurologi dan psikiatri. Hanya bisa bersyukur sebanyak-banyaknya karena otakku masih berfungsi dengan baik dan semoga terus begitu sampai akhir hayat nanti. Amin..
Saat membaca kutipan ini di salah satu bab di buku tersebut:

"Setelah era astronomi. di mana manusia mencari dirinya di antara alam semesta,
Kini, manusia memasuki brainomid; ia mencari dirinya di antara dirinya sendiri dan di antara manusia-manusia" -Taufiq Pasiak, 2002

Aku teringat kutipan tersebut hampir mirip kutipan dari Imam Ali yang sering aku baca beberapa kali, dan versi lengkapnya aku ambil dari suficomics:


Your sickness is within you, though you do not realize,
And your cure is within, yet you do not see.
You claim that you are nothing but a tiny entity,
Yet wrapped up inside of you is the greatest universe.

You are the clear book, through whose letters,
All that is secret is revealed and made known.
So you have no need for anything outside you.
Your consciousness is within you, though yo do not know
-Imam Ali-

Perjalanan ke dalam diri yang cukup menyenangkan. Mendalami sesuatu yang masih misteri dan saat ini masih ada gap pada sirkuit spiritualitas, tapi nyata adanya. Betapa canggihnya otak yang Allah ciptakan untuk makhluk yang paling sempurna. Setelah selesai membacanya, aku berusaha berpikir dan mengingat-ingat apa saja yang bisa memperbaiki sikapku dalam menghadapi hal yang sedang aku risaukan, alasan dan tujuan sikap yang aku ambil, serta berusaha mencapai kedamaian dalam diri. This too shall pass, kalimat ini yang sering aku ingat untuk menyadarkanku apapun yang terjadi, baik kesenangan maupun kesedihan akan berlalu, sehingga bisa membatasi sikapku, bila senang agar tidak terlena, dan bila sedih agar tidak terpuruk. Yang paling jauh dari manusia adalah masa lalu. Masa lalu tidak akan terulang, kesalahan di masa lalu pun tidak bisa kita ubah atau cegah, yang bisa kita lakukan adalah menjadikannya pelajaran agar tidak kita ulangi di masa depan. Dan yang paling dekat dengan manusia adalah kematian. Kematian adalah hal yang pasti terjadi pada setiap yang bernyawa. Karena tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput kita, yang bisa kita lakukan adalah melakukan apa yang harus kita lakukan, berusaha untuk istiqomah di jalan-Nya, selalu introspeksi diri kapan pun dan mengingat-Nya setiap saat. Masa sekarang (present) yang sedang kita jalani, yang menentukan masa depan kita, juga harus kita syukuri dan nikmati, because today is a gift, that's why it's called 'present'.

Semoga hati kita selalu diliputi kedamaian dan kebahagiaan, apapun yang terjadi. Amin..

Thursday, February 19, 2015

The Metamorphosis of Me

Akhirnya.. Postingan pertama di tahun 2015. Mungkin tujuanku dulu untuk membuat blog belum sepenuhnya tercapai, karena seharusnya aku menulis blog ini untuk menuliskan tentang apa yang telah aku lakukan dan alami agar aku tetap bisa mengingat kembali bila aku lupa, tetapi karena sesuatu hal yang telah terjadi dalam hidupku beberapa saat yang lalu, yang tidak pernah aku bayangkan dan harapkan sebelumnya, yang berlawanan dengan keinginanku, ternyata terjadi. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin aku tuliskan, tetapi hal yang memenuhi pikiranku tidak bisa aku tuangkan dalam tulisan karena menurutku cukuplah itu menjadi bahan perenungan untuk diriku sendiri. Lama aku berpikir, aku rasa aku harus menulis karena ini merupakan pengalaman berharga. So, this is a piece story of my metamorphosis...
Dulu, aku beranggapan aku sudah mengetahui segala hal yang harus aku ketahui, terutama dalam prinsip kehidupan. Yap, aku membicarakan tentang agamaku, kepercayaan yang aku anut. Aku tumbuh di lingkungan yang cukup religius, meskipun bapak dan ibu bukan orang lulusan pesantren ataupun sekolah agama, tetapi bagi keluargaku agama itu nomor satu. Mereka contohkan dan ajarkan sholat, puasa, membaca Al-Quran sejak aku kecil. Lambat laun aku menyadari, cara pandang orang tuaku terhadap agama sedikit berbeda dengan orang di sekitar. Mungkin banyak yang masih memandang agama itu hanya untuk identitas KTP, identitas di masyarakat dan rutinitas belaka, tetapi bagi orang tuaku, agama itu pedoman hidup, a way of life. Setiap apa yang dilakukan dan diputuskan harus berdasarkan apa yang diajarkan agama. Tetapi bagaimanapun, mereka tetap menghormati pemeluk agama lain dan tidak membeda-bedakan sikap terhadapnya maupun menyesatkan. Dan lambat laun pula, aku mengetahui bahwa aku sedikit berbeda dari mayoritas, meskipun di luar negeri banyak orang yang paham dan maklum dengan perbedaan ini, tetapi sayangnya disini entah kenapa banyak yang tidak tahu. Dari situ, bapak memberikan beberapa argumentasi dan membolehkanku bertanya mengapa ini dan itu. 
Aku merasa bahwa perbedaanku ini bukan merupakan suatu masalah sampai pada akhirnya terjadilah hal yang tidak aku harapkan. Aku harus menerima konsekuensi dari pilihanku itu. Dan akhirnya aku harus memilih dan memutuskan. Dulu, aku beranggapan bahwa aku bisa ikhlas dan sabar terhadap apapun yang terjadi pada diriku, baik itu merupakan suatu hal yang menyenangkan (yang sesuai dengan keinginan kita) ataupun hal yang buruk dan menyedihkan (yang berlawanan dengan keinginan kita). Ternyata aku salah, jujur, hal itu sangat susah untuk dilakukan. Mungkin aku bisa ikhlas bila aku kehilangan uang atau barang tertentu, yang baru aku menyadarinya mungkin benda tersebut memang tidak berharga bagiku, meski berharga bagi sebagian orang. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menerima dan melepaskan semuanya. Meskipun menurut akal sehat, aku tidak perlu bersedih dan menyesal, karena apapun yang terjadi pasti akan berlalu, baik senang maupun sedih, tidak ada yang abadi, tapi perasaanku tidak demikian. The healing process takes a long time.
Selama masa itu, aku bertanya pada diriku sendiri, setelah tentunya aku bertaubat atas pilihanku dulu, mengapa hal ini harus terjadi, mengapa aku harus berbeda, apakah itu masalah, mengapa tiba-tiba hatinya berubah, andaikan ini tidak pernah terjadi, dan lain-lain. Tapi, sampai di satu titik, di tengah kesendirian, aku bertanya pada diriku sendiri, apa tujuan hidupku setelah sempat salah arah, apakah yang aku akhirnya aku bela mati-matian ini benar dan layak untuk dibela. Aku pun belajar lagi dari awal hal yang aku anggap sudah lumayan banyak yang aku ketahui. Ternyata banyak yang belum aku tahu. Semakin banyak aku belajar, ternyata aku semakin tahu banyak hal yang tidak aku ketahui. Hal yang sepertinya sempit ternyata amatlah luas. Semakin digali, semakin banyak yang harus aku pelajari, tetapi semakin nyaman aku bersandar karena aku mengetahui insya Allah yang aku yakini untuk saat ini benar menurut pemikiran dan imanku. Meskipun konsekuensi yang aku pilih harus membuatku memacu diri menjadi lebih baik daripada yang lain dan siap untuk disalahpahami oleh orang yang tidak tahu sedikitpun tentang ini. Aku juga belajar siapa yang layak untuk dicintai, bagaimana mencintai dan menyebarkan cinta, siapakah panutan yang harus aku contoh, meskipun saat ini aku tidak bisa mengekspresikannya. Aku belajar untuk berlapang dada, tidak egois dan tidak memaksakan kehendak. Siapa lagi Yang Maha Berkehendak kalau bukan Dia, Yang Maha Pengasih? Semua hal yang terjadi di dunia ini adalah atas kehendak-Nya. Maka, aku belajar untuk menerima apapun yang terjadi. Bukankah semua hal yang terjadi, baik hal yang menyenangkan maupun menyedihkan, keduanya merupakan ujian? Semua pasti berlalu. Roda pun terus berputar, kehidupan terus berjalan sampai akhirnya nanti tiba waktuku untuk kembali pada-Nya. Mungkin saat ini adalah salah satu bentuk perjuanganku, yang berbeda dengan perjuangan bapak dan ibu dulu untuk mengetahui kebenaran. I've learned a lot from this chapter, God... and I am ready for the next chapter :)