Sunday, November 15, 2020

Cinta Pertamaku Pergi, tapi Hidup akan Terus Berlanjut

Akhirnya aku mencoba untuk menulis lagi. Sebenarnya dua tahun lalu aku ingin membiasakan diriku menulis lagi. Apalagi saat itu, aku mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi, memperdalam ilmu tentang mata. Pasti menulis adalah keterampilan yang sangat dibutuhkan terutama dalam proses belajar. Aku bahkan membeli buku motivasi untuk menulis, yang ternyata ditulis oleh salah seorang anggota grup Whatsapp yang berisi orang-orang sevisi yaitu yang mencintai Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Namun sayang, dua tahun lalu, tidak lama setelah aku membaca bukunya, orang tersebut meninggal.

Namun, bukan itu saja yang membuatku berhenti menulis. Beberapa bulan berikutnya, tepatnya Agustus 2018, setelah acara pengukuhan mahasiswa baru PPDS Ilmu Kesehatan Mata Unair, Bapakku, cinta pertama dan tempat kami bersandar, tiba-tiba tidak sadarkan diri, sempat dirawat selama 6 hari di ICU dan akhirnya meninggal dunia di usia 51 tahun. Usia yang bisa dikatakan masih produktif dan masih cukup muda. Aku ingin menulis apa yang aku rasakan setelah kejadian yang pasti akan terjadi namun tidak diharapkan. Aku hanya berharap aku akan terus mengingat beliau, peran beliau hingga aku menjadi seperti ini, balas budi yang belum sempat kulakukan, serta impianku untuk membahagiakan bapak dan ibu. Namun karena saat itu aku masih harus berkonsentrasi dengan dunia baruku untuk meraih impian, aku sering mengurungkan niatku untuk menuangkan apa yang ada di pikiranku dengan menulis. Aku harap waktu dapat menyembuhkan segalanya. Tetapi sampai sekarang pun tetap saja, aku menulis ini dengan bulir air mata yang menetes di pipi. Mungkin ada yang berpikir, jangan terlalu sering menangisi orang yang meninggal, atau hidup ini akan terus berlanjut meski mereka tiada. Ya memang benar, detik akan terus melaju, meski aku dan ibu merasa waktu di dunia ini sempat berhenti sejenak. Mencoba mencerna apa yang terjadi, mengambil sikap untuk rencana ke depan. Tetapi bapak yang sudah meninggal, tetaplah bapakku, orang yang sangat berarti bagiku, yang mungkin tidak terlalu berarti bagi orang lain. Hal seperti ini mungkin dengan mudah dapat dirasakan oleh orang yang juga pernah merasakan orang yang paling berharga meninggalkan dunia ini, tetapi mungkin tidak dengan orang yang belum pernah merasakan kehilangan.

Rasa penyesalan terbesarku adalah kami bukan keluarga yang dengan mudah mengekspresikan perasaan cinta, kasih dan sayang dengan lugas. Kami terlalu kaku dan malu mengungkapkannya. Yang seharusnya aku lakukan selama waktu masih berpihak padaku, sebelum semuanya terlambat. Seharusnya aku sering mengucapkan kata terima kasih, aku sayang bapak, atau seperti keinginan bapak diam-diam yang ingin aku bercerita banyak hal kepadanya, yang belum pernah aku lakukan. Bapak pernah bilang ke ibu kalau sebenarnya bapak ingin sekali mendengar ceritaku langsung, tertawa bersama bila itu adalah hal yang lucu, tapi aku terlalu cuek. Saat itu aku berpikir agak susah bercerita kepada bapak karena reaksi bapak yang cukup berlebihan dan sering menyimpulkan dengan cepat, sedangkan bila aku cerita tentang sesuatu, artinya aku hanya ingin didengar dan akan aku selesaikan sendiri bahkan bila itu adalah masalah yang cukup berat. Tetapi itulah yang kurindukan saat ini, saat semuanya sudah terlambat.

Sampai saat itu, bapak sudah mengajari dan meneladaniku banyak hal. Terutama hal yang sangat pokok bagi kita dalam menjalani hidup di dunia yang berat ini. Berbekal cinta kepada Rasulullah dan Ahlulbaitnya, bapak selalu yakin dengan itu kita akan bahagia di dunia dan di akhirat. Karena sudah mendeklarasikan seperti itu, seharusnya aku bersemangat mengejar impianku, melakukan terbaik yang aku bisa agar bisa meneladani Rasullullah dan Ahlulbaitnya. Tetapi sejujurnya aku tidak terlalu percaya diri setelah bapak tiada. Aku menanyakan kepada diriku sendiri, apakah aku mampu melakukan semua itu, apakah aku mampu mempertahankan keyakinanku yang dipandang sebelah mata oleh orang yang bahkan tidak pernah mengetahui yang sebenarnya tapi hanya termakan isu yang beredar. Tetapi dilihat dari sisi manapun, kebenaran tersebut terlalu terang benderang untuk diabaikan.

Aku hanya bisa berdoa dan berharap, semoga anugerah yang berharga ini tidak akan tergoyahkan sampai nafas terakhir kami. Semoga kesempatan yang masih diberikan kepada kami, dapat kami manfaatkan sebaik mungkin untuk kebaikan dan untuk membantu sebanyak mungkin orang. Aamiin..
Al Fatihah yang diiringi dengan sholawat sebelumnya untuk almarhum bapak yang sudah lebih dahulu menghadap Allah pada 16 Agustus 2018 dan niscaya kami juga akan menyusulnya. 


Makam Bapak di TPU Keputih. Terima kasih banyak Pakpuh, sudah banyak membantu baik dukungan maupun biaya, dan juga memesankan pemakaman yang juga dekat dengan makam Eyang Uti, orang yang paling Bapak sayangi.




Tidak banyak kenangan bersama Bapak yang tertangkap oleh kamera. Tapi insya Allah akan selalu kuingat sampai kapan pun.

Sunday, March 13, 2016

My First Experience of Grief

Goodbyes are only for those who love with their eyes. Because for those who love with heart and soul there is no such thing as separation. 
-Rumi-

Finally, you came to my dream, Grandma (Eyang Uti)...
Detik-detik terakhir sebelum aku bangun pagi ini, aku bermimpi Eyang Uti datang ke rumahku ditemani oleh Budhe Iin, seperti biasanya saat Eyang Uti masih hidup. Aku agak terkejut karena dalam mimpi itu aku dalam kondisi mengetahui bahwa Eyang Uti sudah meninggal. Aku kira yang datang berkunjung ke rumah adalah Eyang Kakung. Saat aku keluar dari kamar untuk menyambut mereka, aku melihat wajah Eyang Uti yang berseri, bahagia dan tersenyum kepadaku, yang sampai sekarang ekspresi wajah itu tergambar jelas di pikiranku. Aku sempat terkejut tapi kemudian aku segera memberi salam dan mencium tangannya. Beliau hanya tersenyum dan sempat memegang kalung emas pemberiannya saat aku masih SD dan (sedihnya) baru aku pakai setelah kepergiannya karena sebenarnya aku tidak terbiasa memakai perhiasan. Hanya beberapa detik pertemuan kami lalu aku terbangun. Awalnya seperti bangun tidur seperti biasa, sampai aku teringat lagi tentang mimpiku itu saat akan sholat Subuh. Entah mengapa air mataku menetes dan sulit aku hentikan. Sama seperti saat meninggalnya, air mataku tidak berhenti menetes. Bahkan saat menulis postingan ini pun, air mataku masih menetes. Saat ditanya ibuku mengapa aku menangis, aku tidak bisa menjawabnya karena aku takut air mataku akan menetes lebih deras lagi. Aku tidak tahu apakah Eyang Uti yang ada di mimpiku itu memang benar beliau ataukah hanya bunga tidur semata. Apapun itu aku bahagia jika keadaan Eyang Uti di alam barzakh memang seperti yang aku lihat dari ekspresi wajahnya dalam mimpiku. Dan aku akan berusaha untuk terus mendoakan Eyang Uti seperti yang Eyang Uti lakukan pada anak-anak dan cucu-cucunya selama beliau masih hidup. Terima kasih telah hadir di mimpiku setelah lebih dari empat puluh hari Eyang Uti meninggal.

26 Januari 2016
Hari itu hari Selasa, yang tidak akan pernah aku lupakan. Pagi itu, bapakku baru saja pulang dari RS Mitra Keluarga di daerah Surabaya Barat tempat Eyang Uti dirawat, setelah sebelumnya dirawat di RS di Jember. Bapak berencana menjenguk Eyang Uti lagi dan mengajak Ibu juga. Saat itu aku stase Obsgyn di RSUD Soewandhie. Aku berangkat stase seperti biasa, tetapi entah mengapa aku lupa membawa HP yang sedang di-charge. Menjelang tengah hari, Mas Inung, saudara sepupuku, mencariku lewat grup line angkatan. Rasa tidak enak segera menghinggapiku dan segera aku hubungi Mas Inung dengan HP temanku. Dan memang benar, dia memberitahuku tentang kondisi Eyang Uti di ICU yang sudah MBO (Mati Batang Otak) dan hanya bergantung pada ventilator. Air mataku tidak terbendung lagi dan Ibu mengatakan sebaiknya aku cepat pulang dan bisa segera ke RS tersebut. Setibanya aku di sana, hanya ada Ibu, Bapak serta adik ipar Eyang Uti. Keluargaku yang lain pulang sebentar untuk beristirahat, terutama Pakpuh Dwi dan Budhe Iin yang memang belum pulang sejak dari Jember hari Minggu yang lalu. Bapak pun berencana pulang sebentar untuk mandi dan sholat. Sehingga yang tetap disana hanya aku, Ibu, Budhe Wiwik dan adik ipar Eyang Uti. Saat itu belum jam besuk sehingga aku hanya diizinkan melihat Eyang Uti dari luar kaca. Sebenarnya aku mulai terbiasa melihat pemandangan pasien di perawatan intensif yang diintubasi dan terhubung dengan ventilator, diberi vascon untuk mempertahankan tensinya, tetapi ini pertama kalinya aku berada di posisi keluarga pasien dan itu membuatku teramat sedih. Lalu aku keluar dan sudah ada beberapa penjenguk, rata-rata adalah kenalan Pakpuh Dwi dan ada juga beberapa PPDS yang merupakan anak didik Pakpuh Dwi.
Mendekati akhir jam jenguk, aku masuk lagi ke ruangan dan kali ini aku ingin mendekat dan memegang tangan Eyang Uti. Tidak lama setelah aku masuk, dokter dan perawat masuk dan terlihat mengatur ulang setting ventilator. Saat itu aku melihat monitor vital sign, tensi Eyang Uti semakin rendah, nadinya semakin melambat. Dokter pun mengatakan biarkan semua berjalan senatural mungkin. Dan aku pun sangat paham maksudnya. Ibu memintaku untuk membacakan surat Yasin. Aku sudah beberapa kali berada pada kondisi seperti itu sebagai tenaga medis, tetapi itu adalah pertama kalinya aku berada pada kondisi tersebut sebagai keluarga pasien, yang diminta persetujuan untuk melepas ventilator. Aku paham, sangat paham dan aku hanya bisa menganggukkan kepala, mengucapkan terima kasih dan meneruskan membaca surat Yasin sambil menangis sesenggukan. Aku tidak percaya beliau meninggalkan kami secepat ini, di tahun ini, dimana ada cucunya yang akan menikah bulan ini, ada pula dua cucunya yang lain Insya Allah akan dilantik menjadi dokter tahun ini. 

Aku baru merasakan perpisahan salah satu keluarga dekat yang nyata untuk pertama kalinya selama 23 tahun aku hidup di dunia ini. Rasa sedih teramat dalam yang pertama kali aku rasakan. Lalu aku berpikir, aku hanya seorang cucu yang baru sebentar mengenalnya selama 23 tahun (mungkin kurang dari itu karena saat bayi masih belum bisa mengenal orang secara khusus), merasa amat sedih, bagaimana dengan Bapakku, Pakdhe dan Budhe, apalagi Eyang Kakung, yang sudah hidup bersama puluhan tahun. Sungguh aku tidak sanggup membayangkannya, bahkan untuk berada di dekat Eyang Kakung kadang aku tidak berani lama-lama terutama saat beliau bercerita tentang Eyang Uti semasa hidupnya dan beliau meneteskan air mata, secepatnya aku beranjak dan segera mengusap air mata yang menggenang di mataku sebelum menetes.

3 Maret 2016
Tidak terasa sudah 40 hari Eyang Uti wafat. Bapak mengadakan pengajian di rumah untuk mengirimkan doa pada Eyang Uti. Setelah doa, ada ceramah Ustadz yang memimpin doa tadi dan beberapa hal yang aku ingat, bahwa kematian bukanlah akhir segalanya, hanyalah perpindahan dari alam materi ke alam ruh (barzakh); kematian, sama seperti kehidupan, merupakan ujian dari Allah; kematian adalah pelajaran yang teramat nyata dan pengingat manusia yang masih hidup. Ada 2 hal yang dapat mencegah manusia dari perbuatan maksiat, yaitu adanya Allah yang selalu mengawasi kita, bahkan di tempat tersembunyi sekalipun dan kematian yang terjadi di sekitarnya. Hal pertama mungkin terkadang agak susah karena manusia fitrahnya meyakini apa yang bisa ditangkap oleh panca indranya, sedangkan keberadaan Allah tidak bisa ditangkap oleh panca indra kita, melainkan kita meyakininya, tetapi hal kedua, yaitu kematian sering kita jumpai setiap harinya dan pasti kita akan merasakannya, hanya saja kita tidak tahu kapankah waktu itu akan tiba. Ada juga sebuah hadist yang sangat populer; Jika anak Adam meninggal, maka terputus amalnya kecuali 3 perkara, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang berdoa baginya. Untuk perkara yang terakhir disebutkan, anak soleh yang berdoa baginya, bukan berarti bila ada orang lain yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan orang tersebut, mendoakannya, doa tersebut tidak akan sampai. Doa siapapun pasti akan sampai dan akan sangat membantunya di alam Barzakh, selain amal yang dilakukan semasa hidupnya.


Banyak sekali kenangan dari Eyang Uti untukku. Mulai dari perhiasan, yang Eyang Uti tekankan agar jangan sekali-kali dijual, sampai pemberian terakhir Eyang Uti sebulan sebelum beliau meninggal, Terima kasih atas segala perhatian dan doa Eyang Uti bagi kami. Terima kasih wanita paling tangguh yang aku kenal, wanita yang murah hati. Semoga amal dan perbuatan baik Eyang Uti diterima oleh Allah, diampuni segala dosanya. Semoga keadaan Eyang Uti di alam barzakh baik dan diliputi limpahan rahmat dan kasih sayang Allah. Semoga kami yang masih hidup dapat mengambil pelajaran dan memanfaatkan waktu yang tersisa untuk beribadah dan bermanfaat bagi orang lain.

Sunday, September 13, 2015

Yes, We Are The Bandar's!!!

Akhirnyaaa... tiga minggu yang awalnya terasa berjalan amat lambat ternyata selesai juga. Dengan selesainya stase Community Medicine, yang sebelumnya didahului oleh stase IKM (Ilmu Kesehatan Masyarakat), artinya kami harus kembali ke kehidupan nyata kami, yaitu di tempat menuntut ilmu favorit kami, RSUD Dr. Soetomo. Kami akan kembali jaga, menangani pasien dan ujian, begitu seterusnya sampai stase terakhir kami. Tapiii, sebelum itu terjadi beberapa jam lagi, izinkan aku menuangkan kenangan, memori, pelajaran yang layak untuk dikenang, sebelum memori ini memudar. Suatu pelajaran berharga tentang kehidupan yang mungkin akan jarang aku temui lagi.


Sooo, let me introduce these amazing people who turn into family  :)
Laki-laki (dari kiri ke kanan): Edrick, Nico, Ayub (Oi), Kun dan Laskar
Perempuan (dari kiri ke kanan): Mbak Ika, Nanda, Grace, aku (Fariztah), Yumnah (Jumi) dan Vembi (Bembi).

Kelompok kami yang berjumlah 11 orang ini, pada awalnya belum kenal baik satu sama lain, kecuali yang memang satu kelompok DM. Dengan latar belakang yang berbeda, sifat dan karakter yang berbeda, pada akhirnya kami merasa sangat bersyukur berada di kelompok ini. Cukup banyak cerita lucu, unik, menyenangkan, menyedihkan, menjengkelkan sampai hampir merasa putus asa selama tiga minggu kami hidup disini, di Kecamatan Bandarkedungmulyo, Kabupaten Jombang. Kecamatan Bandarkedungmulyo merupakan kecamatan paling barat, perbatasan Jombang dengan Nganjuk dan Kediri. Karena di daerah perbatasan, bagi kami peradaban terdekat adalah di Kertosono, Nganjuk. Hanya membutuhkan sekitar 10 menit dari rumah dinas kami. 

Letak Puskesmas kami, yang cukup dekat dengan Sungai Brantas

Sebelum kami berangkat, pasti ada beberapa hal yang terlintas di otak kami, yang kami harapkan akan kami dapatkan disana, antara lain:
  1. Bisa menerapkan prinsip work hard, play harder yang artinya tugas selesai, kami juga bisa jalan-jalan, menjelajahi kota Jombang dan sekitarnya
  2. Mendapat Kepala Puskesmas yang asyik, woles, menerima kedatangan kami dengan hangat dan terbuka dengan kami
  3. Mendapat rumah kontrakan yang cukup nyaman, laki-laki dan perempuan bisa satu rumah untuk memudahkan kami bekerja dan ada tempat untuk memasak, apalagi ada yang pintar memasak di kelompok kami. Meskipun kami tahu kalau kami ditempatkan di rumah dinas dekat puskesmas dan di tepi jalan raya provinsi, kami harap kami masih bisa melobi Kapus kami agar kami diizinkan mencari rumah kontrakan yang lebih nyaman
  4. Tugas kami selesai dan bisa menghasilkan program-program yang diterima dan bermanfaat bagi masyarakat

Dan dari harapan-harapan yang terlintas di otak kami, kenyataan yang kami dapatkan adalah:
  1. Rumah dinas yang ditempati oleh laki-laki, ternyata tidak sepenuhnya bersih dan nyaman. Bahkan semua kecoa dan semut keluar dari sarangnya. Mungkin karena terganggu dengan kedatangan kami. Dan lucunya, ternyata ada dari kami yang belum tahu kalau kecoa bisa terbang, dan mengatakan bahwa itu adalah kecoa mutan. Dan karena berada di tepi jalan raya provinsi, yang dilewati truk, bus dan apapun itu, masalah yang kami hadapi adalah: debu, bisingnya klakson bus dan truk, belum lagi kalau mereka ugal-ugalan, kami hanya bisa berdoa semoga kami tetap diberi keselamatan dan perlindungan dari-Nya sehingga tidak ada bus, truk dan lain-lain yang nyasar ke rumah dinas kami, dan juga getaran-getaran akibat bus dan truk yang lewat (laki-laki yang punya banyak pengalaman tentang ini)
  2. Kos yang ditempati oleh perempuan, tidak jauh dari puskesmas, sekitar 100 meter. Sebenarnya cukup nyaman bila dibandingkan rumah dinas. Tapi ternyata kamar mandinya hanya satu, itu pun digunakan bersama orang lain yang kos disitu bahkan termasuk bapak kos, ibu kos, anak kos. Untuk mencuci, awalnya aku berencana bakal mencuci di dalam kamar mandi tiap mandi pagi. Tapi dengan kenyataan seperti itu, aku mengubah rencana dengan mencuci di depan kamar mandi dan menggunakan pompa tangan (pompa air sederhana jaman dulu). Sayangnya aku belum sempat mendokumentasikan pompanya
  3. Ternyata kapus kami sangat jauh dari apa yang kami ekspektasikan, tidak hanya itu, jujur saja kami sama sekali belum pernah bertemu, berinteraksi dengan orang yang mempunyai karakter seperti itu. Dan itulah yang membuat kami awalnya tidak terlalu bersemangat menjalani CM ini. Bayangkan saja, bagaimana nasib nilai kami di tangannya
  4. Tapi alhamdulillah, meskipun kami tidak diterima dengan baik oleh kapus kami, kami sangat bersyukur ternyata ada yang menyambut dengan senang kedatangan kami, yaitu Bu Yayuk dan drg. Ning. Kalau saja tidak ada beliau-beliau ini, kami mungkin tidak sanggup bertahan hidup disini
  5. Kondisi kritis yang menentukan kehidupan kami selanjutnya adalah ketika lokakarya. Meskipun yang datang mungkin tidak sesuai harapan kami, tapi ternyata kualitas mereka jauh melebihi ekspektasi kami, dan itu yang kami syukuri dan karena mereka, kami sangat bersemangat menjalani hari-hari berikutnya untuk menjalankan terapi komunitas.
  6. Ternyata masalah masih suka mendekati kami. Kami mengalami beberapa hambatan dalam merealisasikan terapi komunitas yang kami rancang dan datangnya sekali lagi, dari kapus kami. Beliau tidak menunjukkan dukungan maupun apresiasi terhadap apa yang kami coba lakukan untuk wilayah kerja puskesmasnya. Merasa jengkel, sebal, bingung, hampir putus asa? Ya, pasti.. Tapi kami bertekad untuk tetap merealisasikannya dalam keterbatasan kami. Kembali lagi ke niat kami, kami hanya ingin kebaikan yang diperoleh dari program tersebut untuk masyarakat. Mungkin promosi ataupun publikasi program kami tidak segencar kelompok lain, tapi kami bangga kami tetap bisa produktif di tengah keterbatasan kami, dimana kami tidak mendapatkan dukungan dari orang yang mempunyai kuasa tentang itu.
  7. Kami menyadari bahwa kelompok kami hebat, masing-masing dari kami mempunyai kelebihan dan peran masing-masing yang membuat program kami berhasil, membuat kami terus maju, menghadapi masalah yang ada bersama-sama, mencurahkan pendapat dan mengambil keputusan terbaik untuk kelompok. Dan sekarang, kelompok ini telah berubah menjadi keluarga :)  

Cukup 7 poin aja yaa kenyataan yang kami dapatkan. Sebenarnya lebih banyak dari itu. Bahkan kalau ditulis pun tidak akan bisa menggambarkan apa saja yang telah kami dapatkan. Dari ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan itu, kami berkesempatan untuk belajar. Belajar hal-hal berharga yang mungkin tidak akan kami dapatkan di tempat lain, kalau tidak disini. 

Inilah maksud dari community medicine:
Go to the people
Live among them
Learn from them
Love them
Start with what they know
Build on with what they have

Mungkin awalnya aku hanya sekedar mengerti ketika membaca kata-kata ini, tapi setelah aku mengalaminya, aku menjadi semakin mengerti apa maksud dari ini.

Dan, tibalah di bagian akhir dari post ini. Dari hal-hal yang kami temui, dapatkan, rasakan, dari suka maupun duka, dari awal bekerja sama hingga setelah CM ini, yang pertama kami rasakan adalah kami sangat bersyukur. Kami bersyukur kami bisa belajar banyak, belajar tentang dinamika kehidupan, belajar menjadi orang yang lebih baik lagi. Mungkin ini yang bisa aku ambil selama 3 minggu hidup bersama mereka, orang yang paling tangguh:
  1. Mungkin bertemu orang dengan karakter yang luar biasa unik itu bukanlah harapan masing-masing dari kami, tapi pasti suatu saat selama kami hidup kami akan bertemu dengan orang seperti itu, hanya saja kami dipertemukan dengan orang itu saat 3 minggu kami di sana, dan beruntungnya kami, kami bisa menghadapinya bersama-sama. Dari beliau, kami belajar untuk tidak asal menilai / men-judge orang yang baru kita temui, menghargai orang lain sebagaimana kami juga ingin dihargai, menyambut tamu yang datang dengan ramah dan hangat, mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain. Kami tidak menilai beliau memiliki karakter yang buruk, tapi kami hanya berpikir positif, mungkin ada sesuatu yang terjadi sebelumnya ataukah ada pengalaman buruk yang membuatnya menjadi seperti itu. Semoga beliau dibukakan pintu hatinya dan bisa memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi
  2. Baik rumah dinas maupun kos yang kami dapatkan juga bukanlah seperti apa yang kami harapkan, apalagi setelah melihat rumah kontrakan kelompok lain. Tapi seperti kata Kun, "Jangan bandingkan kita dengan kelompok lain, rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput sendiri." Syukurlah airnya jernih meskipun agak beraroma "karat", mungkin karena pipanya yang berkarat. Dengan mendapatkan kesempatan tinggal di sini, membuat kami lebih mudah bersyukur. Ternyata rumah kami sangat nyaman, tidak bising dan tidak berdebu. Kalau mandi tidak perlu antri, kalau mencuci tidak perlu menggunakan pompa, yang sudah amat jarang ditemui di Surabaya. Semua itu meninggalkan kesan tersendiri di hati kami.
  3. Mungkin ada yang tidak menghargai keberadaan kami disana, tidak menghargai program terapi komunitas yang kami ajukan, tetapi kami merasa amat sangat bersyukur sekali dan bahagia luar biasa ketika mengetahui masih ada lo, masih ada orang yang sangat menghargai kami, berterima kasih karena keberadaan kami, yaitu kader-kader Desa Pucangsimo, Bu Yayuk dan drg, Ning serta dari orang yang tidak kami sangka yaitu perwakilan Dinkeskab Jombang, Bu Titik Ulfah dari Kesehatan Keluarga (KESGA). Dan juga, kami mendapat dukungan dari pembimbing kami dan dosen-dosen yang melakukan supervisi ke rumah dinas kami.







Terima kasih banyak teman-teman seperjuangan, The Bandar's/Rangers of Bandar, keluarga baruku. Akhirnya kita berhasil melalui semuanya yang alhamdulillah berakhir dengan indah dan manis. Semangat berjuang di stase masing-masing, semoga sukses. Sampai ketemu di stase terakhir kita, stase obstetri-ginekologi :)

Friday, August 14, 2015

We Are Gonna Miss This Moment, Someday...

Kalau agak senggang setelah ujian seperti ini, pikiran langsung melayang kemana-mana. Terbayang pertama kali masuk ke dalam hutan rimba ini, bertemu dengan kawan- kawan yang hebat dengan bakat spesial masing-masing. Dan dari sekian banyak teman, ada beberapa yang menjadi teman dekat untuk berbagi. Mulai dari berbagi kebahagiaan seperti saling menraktir saat ulang tahun, sampai kesedihan seperti keadaan setelah ujian atau saat galau (galau karena apapun). Sebenarnya aku agak heran mengapa bisa dekat dengan mereka (Ainun, Lilik, Vembi, Yenni). Mereka saling dekat karena mereka satu kelompok ospek, sedangkan aku di kelompok yang berbeda. Mungkin saja karena aku sekelas dengan Ainun saat SMA. Dan tiba-tiba saja aku sangat merindukan mereka saat ini. Meskipun kami masih menjalani pendidikan profesi dokter muda, kami jarang bertemu karena beda stase, kecuali aku dan Vembi yang masih satu stase di stase besar atau Ainun dan Lilik yang juga masih satu stase bila stase besar.







Mungkin kami bisa menjadi dekat karena kami punya kesamaan, sama-sama nggak bisa serius, apa aja dibawa bercanda trus ketawa bareng sampai perut terasa sakit. Meskipun kami sedang menempuh pendidikan dokter, kami jauh dari kesan serius kalau lagi ngumpul. Mungkin karena kami pikir, sekolah disini sudah cukup membuat stres jadi sebisa mungkin tertawa selagi bisa. Kami juga sama-sama suka jalan-jalan, meskipun nggak bisa jauh-jauh karena terkendala izin orang tua. Kami juga suka main Columbus yang ada di TP (entah sudah berapa kali). Selain kesamaan, kami pun punya banyak perbedaan. Setiap orang memiliki keistimewaan dan karakter yang berbeda. Ada Ainun dan Lilik yang woles dan cuek, tapi Ainun yang paling bingung kalau ada konflik di antara kami. Ada juga Yenni yang lucu, rame dan sekarang jadi anak gaul banget. Ada Vembi yang masih alay, masih suka galau padahal udah dilamar. Dan aku yang..... (aku tidak bisa menilai diriku sendiri, haha..)
Menjadi dekat bukan berarti tanpa konflik. Semakin dekat justru semakin mudah konflik terjadi. Tetapi bersamaan dengan itulah kami belajar dewasa, kami belajar menjadi bijaksana. Kami belajar menerima sifat dan kekurangan masing-masing. Kami belajar saling menghargai dan mengendalikan ego. Kami belajar untuk saling mendukung dan menghibur sebisa mungkin bila salah satu dari kami sedang ada masalah, meskipun saling mem-bully pun tidak terelakkan juga masih terjadi.
Alhamdulillah kami semua diberi kemudahan dan kelancaran sehingga bisa bersama-sama berada pada tahap ini. Tanpa terasa 3,5 tahun preklinik kami lalui dan 1,5 tahun lebih dokter muda (saat ini sudah hampir separuh dari DM tahun kedua), yang artinya tidak lama lagi kami akan kembali pada kehidupan masing-masing, saatnya mewujudkan cita-cita dan mungkin kami akan lebih jarang bertemu. Sehingga di waktu yang tersisa ini aku hanya ingin memanfaatkan sebaik mungkin dan mensyukurinya, because we are gonna miss this moment, someday...






Sunday, April 05, 2015

Journey to the Inner Self

Alhamdulillah, weekend kali ini lebih panjang dari biasanya, long weekend karena ada hari besar umat Kristiani. Sebenarnya, merupakan waktu yang bisa saja dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berlibur, melepas penat dari rutinitas, mengunjungi tempat yang belum pernah kita kunjungi ataupun berlibur bersama keluarga. It sounds great, isn't it? Apalagi, sebelum memulai stase besar seperti bedah. Sayangnya, meskipun belum ada jaga, aku tidak melakukan semua itu. Liburan kali ini hanya di rumah. Ya, di rumah saja. Awalnya rasanya kaki ini gatal ingin keluar rumah, jalan-jalan, pergi ke tempat yang ingin aku kunjungi. Yaah, tapi entah mengapa tidak aku lakukan. Padahal seminggu sebelumnya, suasana hatiku benar-benar, hmm.. bagaimana mengatakannya ya, intinya bukan suasana hati bahagia yang pastinya ingin dirasakan semua orang. Seharusnya butuh suatu mood booster atau melakukan kegiatan apapun yang bisa memperbaiki mood. Tapi sebelum aku merealisasikannya, aku hanya menyadari, bahwa kegiatan yang kelihatannya menyenangkan seperti travelling, shopping, atau sekedar makan-makan hanya berhasil mengurangi sedikit kesedihan yang aku rasakan. Setelah itu, kesedihan itu hadir lagi dalam kesendirian, sehingga rasanya sayang uang yang aku habiskan begitu saja pun tidak berhasil membuatku bahagia. Andaikan uang itu tadi aku sedekahkan pada yang membutuhkan, pasti akan lebih bermanfaat untuk orang lain. Secara akal sehat, tentu aku sangat ingin tidak merasakan kesedihan itu, mengusirnya dan melakukan hal-hal produktif yang aku bisa, tapi kesedihan itu terus membayangiku dan hadir dalam setiap pikiranku sehingga agak menghambat produktivitasku. Mungkin ini suatu kondisi yang dinamakan "hampa".
Setelah hampir merasakan keputusasaan menghadapi kesedihan yang aku tuangkan dalam setiap doa, tiba-tiba aku teringat buku yang berjudul "Tuhan dalam Otak Manusia" ditulis oleh Taufiq Pasiak, yang aku pinjam dari Wigit sejak stase Psikiatri (dan sampai saat ini belum aku kembalikan). Selama membaca buku itu, yang bisa dibilang termasuk melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri untuk mengenal Tuhan, perasaanku lebih tenang dan merasa menemukan kembali semangat dan makna hidup yang hampir hilang. Dan setidaknya aku mengetahui bagian otak manakah yang berperan dalam spiritualitas seseorang ataupun yang membuatku merasa sedih akhir-akhir ini, selain pengetahuan secara umum yang sudah aku dapat ketika aku melalui stase neurologi dan psikiatri. Hanya bisa bersyukur sebanyak-banyaknya karena otakku masih berfungsi dengan baik dan semoga terus begitu sampai akhir hayat nanti. Amin..
Saat membaca kutipan ini di salah satu bab di buku tersebut:

"Setelah era astronomi. di mana manusia mencari dirinya di antara alam semesta,
Kini, manusia memasuki brainomid; ia mencari dirinya di antara dirinya sendiri dan di antara manusia-manusia" -Taufiq Pasiak, 2002

Aku teringat kutipan tersebut hampir mirip kutipan dari Imam Ali yang sering aku baca beberapa kali, dan versi lengkapnya aku ambil dari suficomics:


Your sickness is within you, though you do not realize,
And your cure is within, yet you do not see.
You claim that you are nothing but a tiny entity,
Yet wrapped up inside of you is the greatest universe.

You are the clear book, through whose letters,
All that is secret is revealed and made known.
So you have no need for anything outside you.
Your consciousness is within you, though yo do not know
-Imam Ali-

Perjalanan ke dalam diri yang cukup menyenangkan. Mendalami sesuatu yang masih misteri dan saat ini masih ada gap pada sirkuit spiritualitas, tapi nyata adanya. Betapa canggihnya otak yang Allah ciptakan untuk makhluk yang paling sempurna. Setelah selesai membacanya, aku berusaha berpikir dan mengingat-ingat apa saja yang bisa memperbaiki sikapku dalam menghadapi hal yang sedang aku risaukan, alasan dan tujuan sikap yang aku ambil, serta berusaha mencapai kedamaian dalam diri. This too shall pass, kalimat ini yang sering aku ingat untuk menyadarkanku apapun yang terjadi, baik kesenangan maupun kesedihan akan berlalu, sehingga bisa membatasi sikapku, bila senang agar tidak terlena, dan bila sedih agar tidak terpuruk. Yang paling jauh dari manusia adalah masa lalu. Masa lalu tidak akan terulang, kesalahan di masa lalu pun tidak bisa kita ubah atau cegah, yang bisa kita lakukan adalah menjadikannya pelajaran agar tidak kita ulangi di masa depan. Dan yang paling dekat dengan manusia adalah kematian. Kematian adalah hal yang pasti terjadi pada setiap yang bernyawa. Karena tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput kita, yang bisa kita lakukan adalah melakukan apa yang harus kita lakukan, berusaha untuk istiqomah di jalan-Nya, selalu introspeksi diri kapan pun dan mengingat-Nya setiap saat. Masa sekarang (present) yang sedang kita jalani, yang menentukan masa depan kita, juga harus kita syukuri dan nikmati, because today is a gift, that's why it's called 'present'.

Semoga hati kita selalu diliputi kedamaian dan kebahagiaan, apapun yang terjadi. Amin..

Thursday, February 19, 2015

The Metamorphosis of Me

Akhirnya.. Postingan pertama di tahun 2015. Mungkin tujuanku dulu untuk membuat blog belum sepenuhnya tercapai, karena seharusnya aku menulis blog ini untuk menuliskan tentang apa yang telah aku lakukan dan alami agar aku tetap bisa mengingat kembali bila aku lupa, tetapi karena sesuatu hal yang telah terjadi dalam hidupku beberapa saat yang lalu, yang tidak pernah aku bayangkan dan harapkan sebelumnya, yang berlawanan dengan keinginanku, ternyata terjadi. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin aku tuliskan, tetapi hal yang memenuhi pikiranku tidak bisa aku tuangkan dalam tulisan karena menurutku cukuplah itu menjadi bahan perenungan untuk diriku sendiri. Lama aku berpikir, aku rasa aku harus menulis karena ini merupakan pengalaman berharga. So, this is a piece story of my metamorphosis...
Dulu, aku beranggapan aku sudah mengetahui segala hal yang harus aku ketahui, terutama dalam prinsip kehidupan. Yap, aku membicarakan tentang agamaku, kepercayaan yang aku anut. Aku tumbuh di lingkungan yang cukup religius, meskipun bapak dan ibu bukan orang lulusan pesantren ataupun sekolah agama, tetapi bagi keluargaku agama itu nomor satu. Mereka contohkan dan ajarkan sholat, puasa, membaca Al-Quran sejak aku kecil. Lambat laun aku menyadari, cara pandang orang tuaku terhadap agama sedikit berbeda dengan orang di sekitar. Mungkin banyak yang masih memandang agama itu hanya untuk identitas KTP, identitas di masyarakat dan rutinitas belaka, tetapi bagi orang tuaku, agama itu pedoman hidup, a way of life. Setiap apa yang dilakukan dan diputuskan harus berdasarkan apa yang diajarkan agama. Tetapi bagaimanapun, mereka tetap menghormati pemeluk agama lain dan tidak membeda-bedakan sikap terhadapnya maupun menyesatkan. Dan lambat laun pula, aku mengetahui bahwa aku sedikit berbeda dari mayoritas, meskipun di luar negeri banyak orang yang paham dan maklum dengan perbedaan ini, tetapi sayangnya disini entah kenapa banyak yang tidak tahu. Dari situ, bapak memberikan beberapa argumentasi dan membolehkanku bertanya mengapa ini dan itu. 
Aku merasa bahwa perbedaanku ini bukan merupakan suatu masalah sampai pada akhirnya terjadilah hal yang tidak aku harapkan. Aku harus menerima konsekuensi dari pilihanku itu. Dan akhirnya aku harus memilih dan memutuskan. Dulu, aku beranggapan bahwa aku bisa ikhlas dan sabar terhadap apapun yang terjadi pada diriku, baik itu merupakan suatu hal yang menyenangkan (yang sesuai dengan keinginan kita) ataupun hal yang buruk dan menyedihkan (yang berlawanan dengan keinginan kita). Ternyata aku salah, jujur, hal itu sangat susah untuk dilakukan. Mungkin aku bisa ikhlas bila aku kehilangan uang atau barang tertentu, yang baru aku menyadarinya mungkin benda tersebut memang tidak berharga bagiku, meski berharga bagi sebagian orang. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menerima dan melepaskan semuanya. Meskipun menurut akal sehat, aku tidak perlu bersedih dan menyesal, karena apapun yang terjadi pasti akan berlalu, baik senang maupun sedih, tidak ada yang abadi, tapi perasaanku tidak demikian. The healing process takes a long time.
Selama masa itu, aku bertanya pada diriku sendiri, setelah tentunya aku bertaubat atas pilihanku dulu, mengapa hal ini harus terjadi, mengapa aku harus berbeda, apakah itu masalah, mengapa tiba-tiba hatinya berubah, andaikan ini tidak pernah terjadi, dan lain-lain. Tapi, sampai di satu titik, di tengah kesendirian, aku bertanya pada diriku sendiri, apa tujuan hidupku setelah sempat salah arah, apakah yang aku akhirnya aku bela mati-matian ini benar dan layak untuk dibela. Aku pun belajar lagi dari awal hal yang aku anggap sudah lumayan banyak yang aku ketahui. Ternyata banyak yang belum aku tahu. Semakin banyak aku belajar, ternyata aku semakin tahu banyak hal yang tidak aku ketahui. Hal yang sepertinya sempit ternyata amatlah luas. Semakin digali, semakin banyak yang harus aku pelajari, tetapi semakin nyaman aku bersandar karena aku mengetahui insya Allah yang aku yakini untuk saat ini benar menurut pemikiran dan imanku. Meskipun konsekuensi yang aku pilih harus membuatku memacu diri menjadi lebih baik daripada yang lain dan siap untuk disalahpahami oleh orang yang tidak tahu sedikitpun tentang ini. Aku juga belajar siapa yang layak untuk dicintai, bagaimana mencintai dan menyebarkan cinta, siapakah panutan yang harus aku contoh, meskipun saat ini aku tidak bisa mengekspresikannya. Aku belajar untuk berlapang dada, tidak egois dan tidak memaksakan kehendak. Siapa lagi Yang Maha Berkehendak kalau bukan Dia, Yang Maha Pengasih? Semua hal yang terjadi di dunia ini adalah atas kehendak-Nya. Maka, aku belajar untuk menerima apapun yang terjadi. Bukankah semua hal yang terjadi, baik hal yang menyenangkan maupun menyedihkan, keduanya merupakan ujian? Semua pasti berlalu. Roda pun terus berputar, kehidupan terus berjalan sampai akhirnya nanti tiba waktuku untuk kembali pada-Nya. Mungkin saat ini adalah salah satu bentuk perjuanganku, yang berbeda dengan perjuangan bapak dan ibu dulu untuk mengetahui kebenaran. I've learned a lot from this chapter, God... and I am ready for the next chapter :)

Saturday, May 31, 2014

Imagine Living Life in Peace...

Entah mengapa rasanya akhir-akhir ini agak jenuh dengan berita-berita yang beredar, baik di media cetak, televisi, internet, bahkan media sosial, terutama menjelang pilpres dan setelah muncul dua nama capres. Pendukung setiap capres rajin share kekurangan capres yang lain, bahkan menyangkut-pautkan dengan agama atau keimanan seseorang. Itu berita benar atau tidak, aku juga tidak tahu, yang jelas tulisan itu bersifat opini, bukan fakta. Sadar atau tidak, dulu pernah belajar sejarah atau tidak, Indonesia tidak hanya terdiri dari satu agama saja, satu suku saja, tapi dengan keberagaman yang ada, adanya toleransi, saling menghormati antar agama, antar suku, antar budaya, negara kita, Indonesia dengan semboyannya "Bhinneka Tunggal Ika" mampu merdeka dari penjajahan bangsa asing. Yang membuatku heran dan bertanya-tanya, bukankah keimanan seseorang itu hanya Allah yang layak untuk menilai? Bukankah yang bisa kita nilai adalah bagaimana sikapnya selama ini dan apa yang sudah mereka perbuat?

Indonesia sangat kaya, dalam hal budaya, keindahan alam ciptaan Allah, sumber daya alam yang melimpah ruah, seperti digambarkan oleh Koes Plus dalam lagu berjudul "Kolam Susu". Begitu pula beragam agama yang ada disini. Tapi, itulah kekayaan yang menjadi kelemahan. Kekayaan yang tidak diiringi dengan toleransi, pemikiran yang lebih bijak dan dewasa. Sedikit isu permasalahan antar suku atau antar agama saja, sebagian besar masyarakat mudah terpancing emosi, entah apa yang sebenarnya terjadi, pokoknya beraksi dulu membela masing-masing kelompoknya. Mungkin hal ini yang belum hilang sejak jaman penjajahan dulu. Politik "devide et impera", sudah sangat klasik, tapi masih berhasil diterapkan di Indonesia. Bahkan mungkin tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak di luar yang menunggu detik-detik kehancuran Indonesia, dengan menggunakan politik itu. Pancing saja dengan isu misalnya antara agama Islam sendiri tentang Sunni dan Syiah. Pasti menimbulkan perdebatan yang amat dahsyat disini. Padahal Sunni dan Syiah di negara-negara Timur Tengah dan Eropa malah hidup berdampingan, meskipun masih ada sedikit yang mudah terpancing isu seperti ini.

Masalah-masalah seperti itu, sudah ada dari dulu. Bahkan, musisi terkenal, John Lennon, mengungkapkan keprihatinannya dalam lagu yang berjudul "Imagine"

Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...


Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace...


You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one


Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world...


You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us

And the world will live as one 

Mungkin ada di antara kalian yang berpikir bahwa yang ada di lirik itu cuma pikirannya orang kafir lah, atheis lah, ngapain ditanggepin lah, dll. Tapi coba resapi lagi. Bukankah lirik lagu itu menggambarkan betapa dia mendambakan perdamaian? Sehingga dengan yang dia lihat apa yang terjadi akhirnya dia menyimpulkan, jika saja tidak ada surga, tidak ada neraka, tidak ada batas negara, tidak ada agama, mungkin semua orang bisa hidup di dunia dengan damai. Itu tidak salah, hanya kurang tepat. Bukankah damai itu juga salah satu sifat Allah? Kalau begitu seharusnya siapa yang wajib introspeksi diri dan memperbaiki diri?

Berikut ini, aku cantumkan artikel "Seislami Apakah Kita?" dari kolom Irfan di website islamindonesia.co.id sebagai renungan untuk yang selalu menganggap dirinya Muslim, orang yang paling benar. Padahal, sebagian besar di antara kita menganut Islam karena merupakan "warisan" dari orang tua kita. Belajar agama pun pasti langsung belajar agama Islam, tanpa ingin mengetahui lebih jauh lagi apa yang diajarkan agama lain dan mungkin tidak sempat terlintas di benak kita mengapa kita bisa meyakini apa yang kita anut ini, dan apakah sudah benar atau belum.

Syaikh Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang. Kepada Renan, filsuf Perancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dan lain sebagainya. Dengan ringan Renan, yang juga pengamat dunia Timur Tengah mengatakan (kira-kira begini katanya), “Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran. Tapi tolong tunjukan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam”. Dan Abduh pun terdiam.
Satu abad kemudian beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan. Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti kejujuran (shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan, ketapatan waktu, empati,  toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah Saw. Bebekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai islamicity index mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapara islami negara-negara tersebut. Hasilnya? Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami. Indonesia? Harus puas di urutan ke 140. Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam lainnya yang kebanyakan bertengger di rangking 100-200.
Apa itu Islam? Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami? Kebanyakan ayat dan hadis menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi. Misalnya hadis yang yang menjelaskan bahwa “Seorang Muslim adalah orang yang di sekitarnya selamat dari tangan dan lisannya” itu indikator. Atau hadis yang berbunyi, “Keutamaan Islam seseorang adalah yang meninggalkan yang tak bermanfaat”. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga ... Hormati tamu ...  Bicara yang baik atau diam”. Jika kita koleksi sejumlah hadis yang menjelaskan tentang islam dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara.
Dengan indikator-indikator di atas tak heran ketika Muhamamd Abduh melawat ke Perancis akhirnya dia berkomentar, “Saya tidak melihat Muslim di sini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islam, sebaliknya di Mesir saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam”.
Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad ketika berkesempatan ke Kanada yang merupakan negara paling islami no 5. Beliau heran melihat penduduk di sana yang tak pernah mengunci pintu rumahnya. Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya, “mengapa harus dikunci?” Di kesempatan lain, masih di Kanada, seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah. Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di negeri muslim yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat. Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan aman. Artinya, jika semua penduduk beriman, seharusnya bisa memberi rasa aman. Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal (mungkin) tanpa iman. Tetapi kita merasa tidak aman di tengah orang-orang yang (mengaku) beriman.
Seorang teman bercerita, di Jerman, seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyebrang saat lampu penyebrangan masih merah. “Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan, hari ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan, dan saya khawatir dia akan meniru Anda”. Sangat kontras dengan sebuah video di Youtube yang menayangkan seorang bapak-bapak di Jakarta dengan pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm. Ketika ditangkap polisi karena melanggar, si Bapak tersebut malah marah dengan menyebut-nyebut bahwa dirinya habib.
Mengapa kontradiksi ini terjadi? Syaikh Basuni ulama Kalimantan pernah berkirim surat kepada Muhamamd Rashid Ridha ulama terkemuka dari Mesir. Suratnya berisi pertanyaan: “Limadza taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum?”, mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju? Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti dari jawaban Rasyid Ridha, Islam mundur karena meninggalkan ajarannya, sementara Barat maju karena meninggalkan ajarannya.
Umat Islam terbelakang karena meninggalkan ajaran iqra (membaca) dan cinta ilmu. Tidak aneh dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini menempati urutan ke- 111 dalam hal tradisi membaca. Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-begara Muslim terpuruk di kategori low trust society yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias selalu penuh curiga. Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.
Siapa yang salah? Mungkin yang salah yang membuat survey. Seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya pastilah Indonesia ada di ranking pertama.

Perdamaian itu.... sangat indah :)

Friday, March 21, 2014

About Me, in 22 Years Old

Hari Selasa kemarin, tanggal 18 Maret 2014, aku genap berusia 22 tahun. Cukup tua juga. Hehe.. Sebenarnya tidak ada yang spesial bagiku ketika ulang tahun tiba, malah semakin terasa semakin mendekati kematian yang masih misteri, tetapi pasti akan kita hadapi. Saat jiwa dan raga ini akan kembali ke Sang Pencipta. Mungkin hari ulang tahun juga bisa membuat kita berkontemplasi, merenung apa saja yang sudah kita lakukan selama ini, target-target yang sudah tercapai atau belum, apakah diri kita sudah lebih baik dari sebelumnya, apakah diri kita bermanfaat bagi sesama.
Saat-saat ini sedikit berat bagiku karena aku tidak pernah mengalaminya. Masalah hati, yang dulunya aku kira itu bukan masalah yang berat, tapi ternyata teramat berat bagiku. Bila sudah seperti ini, merasa resah dan gelisah, yang berusaha aku pikirkan adalah tujuanku diciptakan di dunia ini, yang telah dijelaskan oleh Allah di Al-Quran dan tentang nama yang diberikan padaku: Fariztah Sukainah Nur Fathimah. Fariztah, diambil dari bahasa Persia yaitu Fereshteh yang berarti "angel" dalam bahasa Inggris atau mungkin bisa kita sebut bidadari atau dewi, bukan malaikat. Satu-satunya orang yang tahu arti namaku ini tanpa aku harus memberitahunya adalah Mrs. Bina Kadaba, karena bahasa India ada kesamaan dengan bahasa Persia. Sukainah, diambil dari bahasa Arab yang berarti kedamaian. Nur, diambil dari bahasa Arab juga yang berarti cahaya. Fathimah, yang merupakan nama putri Nabi Muhammad SAW. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Al Khawarizmi dalam Maqtal al Hussain mengatakan, "Ali bin Abi Thalib berkata, 'Rasulullah bersabda, 'Putriku dinamai Fathimah karena Allah SWT melindunginya dari api (neraka).''"
Bila membandingkan arti namaku dengan apa yang sudah aku lakukan membuatku menangis. Rasanya aku masih belum bisa membuat diriku semulia nama yang diberikan kepadaku karena aku telah memilih takdir yang salah dulu. Kejadian yang membuatku sempat mengubah prinsip hidup yang aku pilih sebelumnya dan aku baru menyadari bahwa masalah itu merupakan ujian apakah benar aku bisa memegang prinsip itu. Bukankah masalah itu selalu ada selama kita hidup di dunia ini? Seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur'an "Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? (QS 29:1). Masalah juga merupakan rahmat Allah yang belum kita tahu manfaatnya saat ini. Mungkin untuk naik kelas menjadi pribadi yang lebih baik lagi, diri kita harus ditempa dulu, belajar bagaimana sabar, ikhlas dan memasrahkan semuanya pada Allah, karena hanya Dia yang tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Bukankah semua yang terjadi itu karena kehendak Allah?
Mungkin juga saatnya aku belajar menenangkan dan mendamaikan hati, lebih banyak bersyukur juga, karena jauh lebih banyak orang yang mengalami masalah lebih berat dariku, yang notabene hanya masalah hati. Tergantung kita lebih memilih bahagia atau sedih dalam memandang kehidupan serta masalah yang menyertainya. Semakin hari, semakin cita-citaku terlihat nyata. Yang dulunya hanyalah impian masa kecil untuk menolong orang lain karena melihat betapa hebatnya dokter di TV maupun film, sekarang tiba kesempatan untuk belajar dan melakukannya langsung meskipun ada sedikit rasa takut di hati ini. Cukup terharu juga bila ulang tahun kali ini mendapat banyak doa untuk kebaikanku dan semoga doa itu juga kembali pada mereka.
Maka, di hari Jumat yang memiliki keistimewaan, keagungan dan keutamaan yang melebihi hari-hari lain ini, dengan ucapan bismillahirrahmanirrahim dan shalawat pada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, Allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad, aku memohon pada Allah agar mengampuni segala dosaku yang tidak sebanding dengan amalku, tetapi rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, mendamaikan hatiku, menjadikanku lebih sabar dan kuat menghadapi masalah ini, memasrahkan hati ini pada Sang Pencipta yang mengetahui yang terbaik bagiku. Amin..  

Wednesday, March 05, 2014

Fakta Mulia tentang Khadijah al Kubra, Istri Rasulullah SAW

Bila mendengar nama Khadijah al Kubra, apa yang ada di bayangan kita? Istri pertama Rasulullah SAW? Seorang wanita berusia 40 tahun saat menikah di Rasulullah? Janda? Kira-kira seperti itulah sejarah tentang Khadijah yang pernah kita dengar saat pelajaran agama di sekolah, maupun di pengajian. Aku memang tidak pernah mengikuti sekolah khusus tarbiyah atau apapun. Aku seperti orang awam biasa. Tetapi sempat muncul pertanyaan dalam pikiranku saat mendengar tentang kisah Khadijah. Apakah memang benar seperti itu saja, lalu apa istimewanya? Seharusnya Khadijah pasti memiliki sesuatu yang menakjubkan sehingga beliau ditakdirkan Allah mendampingi Rasulullah. Tulisan ini aku ringkas dari buku yang aku baca, yang berjudul "Cinta Abadi Nabi Muhammad SAW".
Khadijah adalah Muslimah pertama, yang paling awal tunduk pada Allah SWT. Kini, tak soal siapa yang menyusun daftar pemeluk Islam yang paling awal, namanya akan selalu berada di puncak itu. Tak ada "sejarawan" yang bisa mengubah fakta ini. Kehormatan menjadi Muslimah pertama adalah milik Khadijah, dan akan menjadi miliknya untuk selama-lamanya.
Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik." Katakanlah: "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah; Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri [kepada Allah]." (Q.S. al An'am: 161-163)
Setelah pertemuan pertamanya dengan Jibril, Nabi saw datang kepada Khadijah dengan gemetar dan gelisah. Khadijah melihat segalanya dengan padangan keimanan. "Bergembiralah dengan apa yang engkau bawa," serunya, "Demi Dia, yang jiwaku ada di tangan-Nya, kini aku memandangmu sebagai Nabi bangsa kami. Berbahagialah," tambahnya, "Allah tidak akan menjatuhkan kehinaan padamu. Bukankah engkau sayang kepada kerabatmu, baik pada para tetangga, murah pada kaum miskin, berbuat ramah kepada orang tak dikenal, jujur dalam perkataanmu, dan selalu membela kebenaran?"
Dua puluh lima tahun Nabi saw bersatu dalam ikatan pernikahan suci dengan Khadijah yang agung, wanita mulia. Yang menemaninya di saat beliau tidak memiliki kekayaan duniawi, yang mempercayainya di saat kemuliaan yang dibawanya kurang dikenal, yang mendorong dan memahaminya dalam perjuangan spiritualnya, yang meyakininya di kala ia menyeru serta bertahan dari berbagai fitnah, aniaya, cemoohan, ancaman, dan siksa. Serta seorang teman yang selalu menolong di sepanjang hayatnya hingga ia dihimpunkan bersama dengan para wali di usianya yang ke-55. Wanita paripurna, Ummul Mukminin.
Khadijah adalah wanita ideal, istri yang ideal untuk Nabi Allah, ibu yang ideal bagi anak-anaknya, serta ibu yang ideal untuk kaum Mukmin.
Keimanan pada rahmat Allah SWT merupakan mata air yang Khadijah gunakan. Ia dianugerahi dengan apa yang Al-Qur'an al-Karim sebut qalbun salim (hati yang bersih), dalam ayat 89 surah Asy-Syua'ara. Qalbun salim, hati yang bersih, telah didefinisikan oleh A. Yusuf Ali, penerjemah dan ahli tafsir Al-Qur'an sebagai berikut:
"Hati yang suci dan tidak terkotori oleh berbagai penyakit yang diderita orang lain. Karena 'hati' dalam bahasa Arab tidak hanya pusat berbagai emosi dan kasih sayang, tapi juga akal yang menghasilkan suatu perbuatan, maka ia bermakna karakter seluruhnya."
Keagungan karakter Khadijah merupakan petunjuk hatinya yang suci. Khadijah dilahirkan memiliki qalbun salim yang nampaknya hanya orang-orang pilihan Allah SWT saja yang diberi. Ia adalah hati yang penuh dengan keyakinan mendalam, dedikasi pada Islam, serta kecintaan dan syukur pada Allah SWT.

Masalah Umur Khadijah
Kebanyakan sejarawan Muslim mengatakan bahwa Khadijah berusia 40 tahun ketika menikah dengan Nabi saw dan banyak sejarawan yang mengulang-ulang angka ini sehingga diyakini sebagai kebenaran mutlak. Tetapi, angka ini terbuka untuk dipertanyakan atas dasar berikut:
1. Tidak ada sejarawan yang mengetahui tahun kelahiran Khadijah. Angka 40 hanyalah sebuah perkiraan, dan itu terlalu berlebihan. Memang benar bahwa Khadijah lebih tua daripada Nabi Muhammad saw, tetapi hanya sedikit lebih tua.
2. Semenanjung Arabia merupakan sebuah negeri yang panas, dan gadis-gadis Arab mencapai tingkat kedewasaan yang jauh lebih cepat daripada gadis-gadis yang tinggal di iklim dingin atau sedang. Gadis-gadis Arab lainnya juga menikah cukup awal. Pada umur 40 tahun, tahun-tahun terbaik dalam kehidupan seorang wanita telah berlalu, dan di usia tersebut harapan untuk memiliki anak menjadi rendah, bahkan menurut medis, termasuk usia risiko tinggi untuk hamil.
3. Ia menerima banyak lamaran dari para penguasa dan pemuka Arab, tetapi ia menampiknya. Mereka tidak dapat mengesankan Khadijah dengan harta. Jika mereka kaya, ia nyata-nyata lebih kaya dari orang terkaya di antara mereka. Dan dengan sifat-sifat pribadi semacam itu sebagaimana sifat-sifat kepala, tangan, dan hati, semua itu seperti debu di kakinya. Siapa pun yang mencoba mengesankannya dengan harta atau kekuasaan jika tidak bodoh, tentu saja naif. Oleh karena itu, ia membuat target, sampai datangnya seorang laki-laki yang benar-benar mengesankannya-- Muhammad al-Mustafa saw dan ia pun menikah dengannya.

Dugaan Perkawinan Khadijah
Khadijah tidak pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saw. Pernikahannya dengan Nabi Allah adalah yang pertama dan terakhir baginya. Para sejarawan yang sama mengklaim bahwa Khadijah menikah dua kali sebelum ia kemudian menikah dengan Rasulullah. Sebagaimana telah dicatat sebelumnya bahwa seluruh pemuka Quraisy dan pemuka-pemuka Arab ingin menikahinya, namun ia tidak berkenan mempertimbangkan siapa pun dari mereka untuk sebuah ikatan perkawinan. Apabila benar ia telah menikah dua kali sebelumnya, ia tidak akan ragu-ragu menikah untuk yang ketiga kalinya.

Epilog:
Beberapa orang mengajukan pertanyaan bahwa jika dianggap Khadijah menikah 2 kali sebelum perkawinannya dengan Nabi saw, dan ia berumur 40 tahun saat perkawinannya, adakah yang patut dicela tentangnya? Tidak! Apabila seorang laki-laki atau wanita menikah lebih dari satu kali atau telah berumur 40 tahun, tak ada cela tentangnya.
Pertanyannya bukanlah benar atau salahkah jika Khadijah menikah lebih dari sekali atau jika ia berumur 40 tahun dalam pernikahan terakhirnya. Satu-satunya pertanyaan adalah: Apakah merupakan fakta sejarah bahwa Khadijah telah menikah 2 kali, atau bahwa ia berumur 40 tahun dalam pernikahan terakhirnya? I absolutely say NO!
Bila seseorang setuju dengan para sejarawan sogokan bahwa Khadijah telah menikah dua kali, dan ia telah berumur 40 tahun pada pernikahan terakhirnya, tak ada yang berkurang dari kedudukannya. Ia tetap mulia. Tetapi, hanya tidak benar bahwa ia adalah seorang janda berumur 40 tahun ketika menikah dengan Nabi saw, dan karenanya, tidak etis menambah-nambah kesalahan dalam riwayat hidupnya, ataupun hidup laki-laki atau wanita lainnya, dalam persoalan itu. Setiap orang berhak atas pendapatnya sendiri, namun tidak pada fakta-fakta itu sendiri. Apabila seorang pencari kebenaran hendak memisahkan fakta-fakta dari pendapat, ia dapat melakukannya dengan pertolongan akal dan analisa logika. Pencarian kesimpulan dari prinsip-prinsip yang pasti, akan merupakan sebuah pengalaman yang berguna.
Apapun yang ditulis sejarah tentangnya, ia tetaplah salah satu dari empat wanita agung menurut Islam (Asiyah, istri Fir'aun; Maryam, ibu Nabi Isa as; Khadijah, istri Rasulullah saw; dan Fathimah, putri Rasulullah saw).         

Sunday, January 12, 2014

My Super Mom and Dad

My Super Mom and Dad.. Gaya banget nulisnya, padahal manggilnya juga Ibu dan Bapak. Hehe.. Ini ketiga kalinya aku bicara tentang Ibu dan baru sekali bicara tentang Bapak. Huhu.. Nggak adil ya? Makanya aku nulis sekarang. Mungkin orang tuaku tidak bekerja di suatu instansi perusahaan, atau menjadi PNS ataupun dalam BPJS termasuk kategori pekerja penerima upah. Meskipun begitu alhamdulillah sampai saat ini keluarga kami hidup berkecukupan dan masih bisa membantu orang lain yang membutuhkan.

Bicara tentang Bapak. Bapak itu orang yang keras, tegas, blak-blakan (beda banget sama aku), tapi baik, pengetahuannya amat luas, gampang tersentuh hatinya bila melihat orang kesusahan dan hobi "ngudang" (baca: menghibur anak kecil). Pastinya juga sangat khawatir dan sangat menjaga anak perempuan satu-satunya. Hehe.. Tapi lucunya, kalau Bapak khawatir tentang aku, selalu bicara ke ibu dulu. Jarang langsung bicara ke aku. Aku pun dulu saat meminta izin untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya membuat Bapak keberatan, aku juga izin ke ibu dulu. Jadi, like father like daughter. Setelah itu pun ternyata Bapak hanya menyiratkan keberatan, tetapi tidak melarangku. Dan akhirnya pun keputusanku itu tidak membuatku bahagia. Sempat menyesal mengapa aku mengambil keputusan itu yang jelas-jelas tidak benar dan merugikanku selama dua tahun ini. Bapakku juga senang mendalami ilmu tentang pengobatan alternatif. Banyak banget yang dipelajari. Mulai dari refleksi, akupuntur, akupressur, normalisasi, sampe yang terakhir ini homeopathy. Nah, untuk homeopathy ini, masih banyak yang belum mengenalnya. Meski di negara-negara Barat maupun negara tetangga kita, Malaysia, ilmu pengobatan ini cukup populer. Pelopornya adalah seorang dokter di Jerman beberapa ratus tahun yang lalu, tetapi prinsipnya berbeda dengan ilmu yang sedang aku pelajari sekarang. Mungkin setelah ini aku bisa membandingkannya. Bapakku benar-benar anti-mainstream. Tetapi anti-mainstream yang nggak asal-asalan. Hehe.. Jadi, meski aku menyadari pengetahuanku juga masih amat sangat sedikit, tetapi apa yang aku tahu dari keluargaku ini, yang jarang diketahui orang lain di sekitarku. Akhirnya aku menyadari, nggak semua yang mainstream itu bagus atau benar. Yang terpenting kita punya prinsip yang harus kita pegang kapanpun dan dimanapun. Apalagi kalau bukan agama. Dan aku banyak mendapatkan bantuan dari Bapak tentang itu. 

Kalau tentang ibu.. Wah, sama seperti dua postingan sebelumnya. Bener-bener Super Mom. Ibu yang membesarkanku dengan penuh kesabaran dan kelembutan. Meski sebenarnya pekerjaannya sekarang tidak sesuai dengan kuliah yang diambilnya dulu, jurusan teknik kimia ITS, lebih memilih menjadi ibu rumah tangga yang baik tapi juga guru privat SMP dan SMA yang cukup populer (cukup populer disini karena tiap hari hampir ada jadwal les T.T. Jadi nggak bisa aku ajak jalan-jalan kalau mendadak). Lucunya, ibuku ahli di bidang matematika, fisika dan kimia. Sedangkan ibuku nggak terlalu paham biologi. Padahal apa yang aku pelajari sekarang banyak ke biologinya. Mungkin itu maksudnya, supaya bisa saling melengkapi. Ibuku juga selalu ada disisiku apapun kondisiku. Selalu mengetahui kesedihanku, meski aku berusaha keras menyembunyikannya. Selalu mengingatkanku untuk menjaga iman, membaca sholawat. Menanyakan aku pulang jam berapa, ada apa kok belum pulang. Selalu mendoakanku. 

Aku bersyukur Allah menitipkanku kepada kedua orang super ini. Kedua orang yang membuatku bisa seperti sekarang. Banyak bekal menghadapi kehidupan yang telah mereka berikan padaku. Keimanan, pelajaran hidup, akhlak, kasih sayang dan masih banyak lagi. Mereka juga mengajarkanku cinta yang hakiki. Cinta kepada Allah, Rasulullah Muhammad SAW dan keluarganya yang suci.

Jadi ingat beberapa waktu yang lalu aku membaca status facebook yang ditulis Tante Euis Daryati:
Keutamaan Anak Perempuan:
Rasulullah, "Tidak menyukai anak perempuan kecuali orang mukmin."
Imam Jakfar, "Anak laki-laki adalah kenikmatan dan anak perempuan adalah kebaikan. Sementara Alloh akan bertanya tentang kenikmatan dan menetapkan kebaikan."
Rasulullah, "Barangsiapa yg membesarkan tiga anak perempuan hingga menikah, mereka akan menjadi pelindung baginya dari neraka."

Semoga dengan takdirku dititipkan kepada mereka, aku memang menjadi kebaikan bagi mereka. Dan aku harap meskipun aku anak perempuan satu-satunya, aku juga benar-benar bisa menjadi pelindung mereka dari neraka.Walaupun aku juga tidak tahu sampai berapa lama lagi aku hidup di dunia ini, aku harap aku masih punya kesempatan untuk membuat mereka bahagia dan tidak mengecewakan mereka lagi. Amin..